Sabtu, 15 Agustus 2015

the last

Hello August..
I don’t know what a problem with you..
Every we meet, I just feel hurt, and this time its so hurt.
Aku tak tahu, apa aku yang terlalu bodoh atau mereka yang terlalu kejam.
Yang pasti, disetiap semua kebohongan dan sandiwaranya mereka, aku percaya.
Tak ada rasa benci, hanya saja rasa kecewa pada takdir Tuhan,
Yang selalu menempatkan aku pada posisi “orang yang bodoh”.
Bertemu dengan orang yang pandai berucap namun tak pandai menjaga perasaan.
Bukan tak pandai, bahkan memang tak bisa, teruntuk diriku.
I just think they are so honestly,I don’t care if they don’t.
Be patient, always hope “the dark will be shine tomorrow”,
Like a stupid girl, just pray and always hope a magic story will be come and changing all.
But never I get it. Just felt hurt, always cried, and never smile. Its so fun yeah!
My mom said “tanamlah kebaikan, jangan pedulikan kejahatan mereka. Kelak kamu akan dapatkan  buah pohon manis yang kamu tanam hari ini”.
Lalu aku bertanya, “Ma, lantas mereka yang jahat kepadaku akan mendapat apa?”
“mereka akan mendapat penyesalan. Tak untuk hari ini, tapi mungkin besok. Bisa jadi ia akan tau seberapa baik kamu ketika kamu tak peduli lagi dengannya. Tapi bisa jadi dia menyesal karena memilih bahkan seseorang yang bahkan tak lebih baik dari dirimu”, Jawab Mama.
“Benarkah, Ma?” aku tanya lagi kepada Mama. ”tentu saja, percayalah orang yang baik akan mendapatkan yang baik juga. Begitu juga dia, jika dia baik dia akan dapat yang baik juga. Namun, yang baik untuknya bukan kamu, Nak. Orang yang baik untuknya adalah orang yang sama dengannya.” Jawab Mama.
“lalu apa dia bisa dapat yang lebih baik, Ma?” tanyaku pada Mama
“Mengapa kamu pedulikan?” tanya Mama balik kepadaku
“Aku bukan peduli, Ma, aku hanya berharap akan ada masa dimana mereka yang buruk akan dapat yang baik untuk membimbingnya menjadi yang lebih baik” jawabku kepada Mama.
Mama tersenyum kemudian berkata,“Itu bukan peduli, tapi itu cinta. Rasa cintamu adalah rasa kagummu. Rasa itulah yang mendorongmu berharap dan khawatir terhadapnya”.
“benarkah, Ma?” tanya ku lagi.
“tentu, Nak, ketika kamu menyukai seseorang dengan perasaan yang tulus, hal yang kamu lakukan adalah mencoba menjadi yang terbaik untuknya. Seburuk apapun kamu, yang kamu lakukan untuknya adalah yang terbaik yang dapat kamu lakukan, bahkan jika kau harus memaksa dirimu tuk menjadi orang lain demi membuatnya merasa nyaman, maka kau akan lakukan itu untuknya”. Jawab Mama
“Benar, Ma. Itu yang aku lakukan untuknya. Ma, dia pernah bilang kepadaku, jika dia ingin melindungi orang yang ada di masa lalu nya, ketika saat itu aku didekatnya? Dia peduli terhadap perasaan wanitanya itu, dia khawatir dengan yang akan dihadapi wanitanya itu, tapi saat itu ia tak mempedulikan perasaan aku yang mendengarnya. Apakah  dia yang seperti itu juga termasuk tulus, Ma?” tanyaku pada Mama
“benar, Nak. Itulah ketulusannya. Tanpa harus diminta melindungi ia melindungi, tanpa harus diminta memperhatikan ia memperhatikan, ia mempedulikan orang yang bahkan bukan miliknya lagi. Itulah sebuah ketulusannya terhadap wanitanya itu.” Terang Mama
Dengan sedikit tersenyum namun meneteskan air mata tanpa tangisan aku bertanya, “Lalu baginya aku ini apa, Ma?”
“Nak, sebenarnya kamu sudah tahu itu. Cintanya bukan untukmu, tapi untuk orang lain. Dia hanya ragu, takut melakukan kesalahan lagi dengan wanitanya itu. Tapi tanpa ia sadari, apa yang ia lakukan sebenarnya menunjukkan bahwa sebenarnya ia ingin mengulanginya lagi. Nak, ketika seseorang mengkhawatirkan orang lain, saat itulah ia menyimpan rasa yang lebih dari sekedar rasa peduli. Itu adalah rasamu untuknya, dan rasanya untuk orang lain”, jawab Mama dengan elusan lembutnya dikepalaku.
Aku sedikit terdiam, seakan perkataan Mama terhentak menyadarkanku, rasa sakit ini yang ku tahan benar seperti itu kenyataannya. Terjatuh, air mata terjatuh, semua amarah semua kecewa semua sesal mulai bermunculan dibenakku. Seketika ku berniat tuk membencinya. Namun, sekali lagi ku ingat ucapan Mama,” bukan, bukan aku sendiri yang seperti ini. Inilah mungkin apa yang ia rasakan terhadap wanitanya. Semua yang pernah ia ceritakan kepadaku, tentang aku yang tak tahu bagaimana yang ia rasakan, semuanya teringat. Mungkin ini yang ia rasakan…” pikirku sendiri.
Lalu ku tanya kepada Mama, “Ma, saat ia seperti itu kenapa hatiku terasa sakit, Ma? Sangat sakit. Ma, apakah mungkin ia pernah memikirkanku seperti aku yang memikirkannya? Ma, disana apa ia seperti ini juga? Atau mungkin disana ia bisa tersenyum, bisa tertawa bahkan apa mungkin disana ia lupa aku disini? Bagaimana perasaanku, Ma?” tanya ku dengan duka seakan penuh rasa diabaikan
“dengarkan Mama, berhenti menangis. Air matamu tak untuk kau buang terhadap hal yang kau perjuangkan untuk bahagia”  ucap Mama pada anak bodohnya ini
“aku tak ingin menangis, tapi hati ini Ma, ia membuatnya terasa sakit sekali, Ma” jawabku terisak
“Rasa sakit dihatimu karena pengharapanmu sendiri yang terlalu berlebihan, Nak. Kamu mengaguminya terlalu berlebihan”  terang Mama
“berlebihan? Apanya yang berlebihan, Ma? Ia sendiri yang memberi harapan itu, Ma.” Ceritaku
“tidak nak, rasa kagummu itu yang membuatmu merasa ia memberi harapan itu. Ia mungkin tak berpikir seperti itu. Kamu yang menyukainya secara berlebihan, Nak. Hal itu lah yang membuatmu sakit. Kamu menjadikan dirmu orang lain ketika kamu menyukainya. Yang kamu pikirkan hanyalah bagaimana ia bahagia, bagaimana ia nyaman ketika ia berada didekatmu. Kamu tak memikirkan hatimu sendiri, kamu tak peduli dirimu sendiri. Apakah hatimu rapuh? Apakah dirimu kuat? Apakah mereka sanggup? Kamu hanya memikirkan bagaimana caranya membuat ia bahagia, bukan memikirkan cara membuat dirimu bahagia,” jawab Mama penuh pengertian
“aku bahagia, Ma”  ucapku pada Mama
Mama tersenyum sembari mengatakan, “Tidak Nak, kamu bukan bahagia. Kamu hanya bertahan. Bertahan pada keadaan yang kau anggap bisa membuatmu bahagia namun nyatanya kamu bukan bahagia, tapi kamu tertekan.. tertekan pada keadaan dimana kamu berada diantara pilihan tetap disana atau harus pergi”.
”Ma, sebenarnya aku lelah, tapi aku masih ingin tetap disana..” ungkapku pada Mama
“Kamu hanya nyaman, bukan tak bisa tanpanya. Kamu hanya tak mau mencoba mencari kenyamanan ditempat lain. Mungkin ditempat lain lebih baik? Disini kamu hanya sendiri merasa nyaman itu, ia tidak merasakannya. Carilah tempat yang bisa membuatmu merasakan kenyamanan bersama-sama.”  Ucap Mama
“apa aku bisa Ma?” tanya ku lagi, ”Ia terhebat, Ma, aku tak mengenalnya tapi aku menyukainya. Aku yang bodoh atau dia yang terlalu hebat?”
“kamu tak bodoh, dan dia tak hebat. Hanya saja salahmu adalah kamu mempercayai seseorang begitu saja tanpa ada alasan. Kamu menyukai semua yang ada padanya, entah itu baik atau buruknya. Kamu tak perlu tau seperti apa dia, dan bagaimana dia. Caramu menyukainya yang terlalu lugu tanpa alasan itu yang salah” jawab Mama
“lalu aku harus bagaimana, Ma?” tanyaku terdiam
“kamu hanya perlu bertindak adil pada dirimu sendiri. Pikirkan hatimu ketika kau bertindak. Dirimu kadang berbohong ia tak sakit,namun hatimu takkan pernah berbohong. Ia merasakannya, hanya saja kau yang seakan tak peduli dengan rasanya” jawab Mama
”Ma, kali ini aku benar-benar lelah, Ma. Semua pengorbanan ku tak berarti sedikitpun baginya. Semua usahaku tak tenilai sedikitpun. Ia hanya melihat sinar kecil ditempat lamanya, ia tak mampu melihat matahari yang dengan lelah aku bawakan untuknya. Bukan tak mampu, tapi ia tak ingin melihatnya.” Keluhku pada Mama. “Ma, jika suatu saat aku benar-benar pergi dari dirinya, apakah aku salah? Kejamkah aku?” tanyaku pada Mama
“Benar Nak, kamu kejam, kecewa tak harus menjauhi seseorang” Jawab Mama
“Tapi ia yang mengajarkanku seperti itu. Bahkan ia meninggalkanku tanpa ku tahu salah apa aku saat itu. Ia pergi bahkan tanpa izin sedikitpun. Ia pergi bahkan tanpa berucap maaf sedikit saja. Hingga ia benar-benar menghilang hanya menyisakan pertanyaan besar mengapa aku diperlakukan seperti itu? Apa salahku? Apa kurang ku? Apa maunya mendekatiku kemudian menjauhiku? Apa maksudnya menggiring ku masuk kedunianya kemudian ia yang mengusirku? Sudah puas kah ia? Sudah bangga kah ia? Bahagiakah?” ucapku seakan tak terima.
Aku tak mampu menahan tetesan-tetesan air yang penuh sia-sia ku tumpahkan untuknya. Malu, ada rasa malu yang ku luapkan ke Mama. Namun, hanya terpikir untuk menangis pada saat itu. Terdiam…
Sementara Mama melihatku dengan penuh penyesalan, penuh kesedihan, diriku tak mampu melihat seorang Mama merasakan sedih seakan ia yang bersalah disana.
“Sudah Nak, jangan menangis. Air matamu dibutuhkan untuk menyambut bahagiamu besok. Jangan sia-siakan air mata itu. Air matamu mahal. Kau harus sakit dahulu baru meneteskannya. Lalu, kau ingin terus-terusan membuangnya? Bodoh, anak Mama tak bodoh. Ia bukan awan mendung, ia mentari pagi. Ia mampu menghidupkan cahaya terang disebuah tempat yang gelap sekalipun. Nak, seribu orang yang menyayangimu diluar sana, jangan pernah menangis karena satu orang yang salah” ucap Mama
“Tuhan tak adil, Ma” ucapku pada Mama
“Bukan, bukan tak adil. Hanya saja Tuhan sengaja mempertemukanmu dengan yang salah sebelum kamu dipertemukan pada yang benar” ungkap Mama
Aku terdiam, amarahku seakan tertahan untuk ku luapkan ketika ku dengar perkataan halus Mama. Benar, Mama benar. Tuhan takkan membuatnya hancur jika itu yang terbaik. Tuhan selalu menggagalkan karena masing-masing dari kami memang benar tak dapat disatukan. Ia dengan rasa ego nya tak pernah memikirkan perasaanku, dan aku yang benar-benar lelah hanya berjuang sendiri mempertahankannya, tak mungkin bisa bersama.
Terima kasih untuknya, ku lelah, kini aku benar-benar lelah. Tak ada lagi tujuanku, bahkan ku buang semua harapanku. Lukisan yang pernah ku sketsa-kan, semua telah ku hapus. Ku biarkan rasa ku pergi menjauh darimu, bahkan ku ajak ia tuk pergi menjauh walaupun ia sebenarnya tak mau. Rasa yang tak pernah kau sadari ini lah, yang membuatku mengajak paksa ia tuk pergi.
Jika suatu saat ia tersadar, dan menemukanku disuatu waktu yang bahkan tak ingin aku harapkan datang, ketika itu aku tahu itu dia namun aku tak memberikan kata sepatahpun bahkan senyumku untuknya, ketahuilah, saat itu aku sedang berusaha melupakannya. Melupakannya, bukan kenangannya. Aku tak ingin mengenang hal yang membuat ku sakit. Aku tak ingin mengingat hal yang menjatuhkanku, hal yang memaksaku tuk bangkit namun mendorongku jatuh lebih dalam lagi. Ketika saat itu ia memikirkan jahat tentangku, ketahuilah, kecewanya padaku saat itu tak sebanding hancurnya rasaku saat ini karenanya.
Jika saja ia bertanya seberapa sakitnya perasaanku karenanya, tolong katakan saja padanya, rasa sakitnya bahkan lebih sakit dari bagaimana rasanya ia memendam rasanya pada masa lalunya, lebih bingung dari rasa ketika ia merasa bingung membandingkanku dengan masa lalunya, lebih luka dari ketika ia tahu masa lalunya bersama orang lain, dan lebih hina dibanding ketika ia dicemooh oleh masa lalunya. Mengapa? Karena setidaknya ia disakiti oleh masa lalu yang pernah menghargainya, namun aku? Aku disakiti oleh masa yang sia-sia oleh orang yang tidak pernah berusaha menghargaiku selama ini.
Benar, aku bukan yang terbaik, tapi jangan melukai yang buruk demi hal yang belum tentu lebih baik. Tak pernah bertemu bukan berarti  harus semena-mena, yang dipermainkan itu perasaan, bukan jasadnya. Jika disuruh memilih, benar seharusnya dan sebaiknya tak usah dan jangan pernah bertemu. Bukan karena benci yang terlalu banyak, namun hanya saja aku khawatir ketika aku bertemu dengannya yang terpintas hanyalah bagaimana “kebodohanku” bertahan mempertahankannya sendirian, tanpa diharapkannya, dan tanpa dihargainya.
Namun sudahlah, aku tak peduli tentangnya lagi. Mau apa dia, akan seperti apa dia adalah pilihannya. Tak ada dendam sedikitpun terhadapnya. Hanya saja saat ini diri berusaha memberontak tuk menjadi orang yang bodoh lagi. Aku berterima kasih, karenanya  aku terbangun dari kebodohan nyata ku selama ini.
Sama hal nya seperti kalimat yang sempat ku kutip, “Pada akhirnya, kamu hanya perlu mensyukuri apa pun yang kamu miliki hari ini. Walaupun yang kau tunggu tak pernah datang. Walaupun yang kau perjuangkan tak pernah sadar dengan apa yang kau lakukan. Nikmati saja. Kelak, dia yang kau cintai akan tahu, betapa kerasnya kau memperjuangkannya. Betapa dalamnya rasa yang kau simpan kepadanya. Dia hanya pura-pura tidak tahu, atau mungkin tidak mau tahu sama sekali. Tidak usah hiraukan, jika sampai hari ini kau masih memperjuangkannya, dan masih menunggunya, tidak masalah. Tidak ada salahnya dalam memperjuangkan cinta yang kau rasa. Namun, satu hal yang mungkin bisa kau renungkan. Menunggu ada batasnya. Dan, kau akan tahu kapan harus berhenti dan mulai berjalan lagi. Meninggalkan tempat di mana kamu pernah berjuang sepenuh hati, tetapi tak dihargai.”