BAB I
PENDAHULUAN
Latar
Belakang
Manusia adalah ciptaan Allah yang paling indah dan tinggi
derajatnya. Keindahan manusia berpangkal pada diri manusia itu sendiri baik
dari segi fisik maupun dasar-dasar mental dan kemampuannya. Tingkah laku dan karya
manusia pun indah sepanjang tingkah laku dan karya-karyanya itu dilandasi oleh
keindahan fisik dan dasar-dasar mental serta kemampuan itu. Dengan demikian,
predikat paling indah untuk manusia dapat diartikan bahwa tidak sesuatu pun
ciptaan Allah yang menyamai kesempurnaan manusia (Samsul Nizar dan Muhammad Syaifudin, 2010: 163).
Tujuan umum bimbingan dan konseling adalah membantu perkembangan
kepribadian seoptimal mungkin. Dalam memberikan bantuan tersebut, konselor
harus mempertimbangkan kemampuan dasar dan bakat-bakat individu, latar belakang
keluarga, pendidikan, status sosial ekonomi, serta sesuai dengan tuntutan
positif lingkungan (Emis
Suryana, 2009: 103).
Manusia merupakan keistimewaan ketimbang makhluk lainnya. Manusia
diciptakan allah begitu sempurna, yang dengan kesempurna itu manusia dapat
meninggatkan kehidupannya. (Jalaluddin dan Abdullah Idi, 2011: 122).
Pada suatu ketika manusia itu dapat menyamai malaikat, karena
ketaatanya kepada Allah dan pada suatu ketika lagi bisa saja menyamai binatang
tersebut. Dengan demikian, sifat malia atau tercela yang mungkin
dimiliki oleh manusia itu, sangat bergantung pada manusia itu sendiri (Ali
Hasan, 2000: 1).
Manusia dicipatakan untuk menjadi Khalifah atau pemimpin dimuka bumi, atau bahkan kiranya diseluruh
semesta ciptaan allah. Ajaran agama menyebutkan bahwa manusia diciptakan untuk
menjadi khalifah atau pemimpin di bumi. Nabi Adam sebagai manusia pertama yang
telah diberi bekal untuk mengenal dan menguasai dunianya, dan segerah setelah
diturunkan ke bumi ia dan istrinya( Hawa) mewujudkan kemampuanya menguasai
dunianya sesuai dengan kodrat kemanusiaannya. Selanjtnya mereka beranak-pinak
menurunkan anak keturunan dari generasi ke generasi sampai sekarang (Samsul
Nizar dan Muhammad Syaifudin, 2010: 164).
Dalam perkembangan selanjutnya, manusia (anak, cucu Adam),
dihadapkan dengan sebagai persoalan(problem) hidup seiring dengan perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi. Problem tersebut baik dari sifat, sikap,
prilaku maupun keyakinan kepada agamanya.pada saat seseorang mengalami problem
dalam kehidupannya, ia pasti membutuhkan orang lain untuk menyelesaikan
berbagai persoalan yang dihadapinya. Hal ini sejalan dengan perintah Allah SWT:
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam
mengerjakankebaikan dan taqwa”
Dan juga sabda Rasulullah SAW:
“Engkau lihatlah orang-orang mukmin itu
dalam keadaan saling mengasihi, saling menolong seperti satu tubuh. Jikalau ada
salah satu anggota terkena penyakit,
maka seluruh tubuh ikut menderita tidak dapat tidur dan panas dingin”
Dalam kaitannya dengan dunia bimbingan dan konseling. Ungkapan di
atas memberikan petunjuk kepada umat manusia agar senantiasa membagi suka dan
duka kepada sesama saudaranya, terutama muslim, dalam mengatasi berbagai
persoalan yang dihadapinya (Samsul Nizar dan
Muhammad Syaifudin, 2010: 165).
Nabi Muhammad SAW diutus kepada seluruh manusia untuk membimbing
mereka kepada setiap kebaikan dan memperingatkan mereka kepada setiap kebaikan
dan memperingatkan mereka dari setiap kejelekan. Segala bentuk hubungan yang
terjalin di antara sesama muslim dipandang sebagai suatu yang sangat berharga
di sisi Allah SWT (Falih bin Muhammad ash-Shughair, 2006: 252).
Bimbingan dan konseling adalah pelayanan
bantuan untuk peserta didik, baik secara perorangan maupun kelompok agar
mandiri dan bisa berkembang secara optimal, dalam bimbingan pribadi, sosial,
belajar maupun karir melalui berbagai jenis layanan dan kegiatan pendukung
berdasarkan norma-norma yang berlaku (SK Mendikbud No. 025/D/1995) (Fenti
Hikmawati, 2011: 53).
Bimbingan adalah bantuan yang diberikan oleh pembimbing kepada
induvidu agar induvidu yang mencapai kemandirian dengan mempergunakan berbagai
bahan, malalui interaksi, dan pemberian nasehat serta gagasan dalan suasana
asuhan dan berdasarkan norma-norma yang berlaku. Konseling adalah kontak atau hubungan timbal balik antara dua orang
(konselor dan klien) untuk menangani masalah klien, yang didukung oleh keahlian
dan dalam suasana yang laras dan integrasi, berdasarkan norma-norma yang
berlaku untuk tujuan yang berguna bagi klien (Tohirin, 2007: 20).
Khusus dikalangan guru-guru/calon-calon guru agama di sekolah
diharapkan setiap guru/calon guru memiliki pengetahuan dan keterampilan dasar
bertugas sebagai konselor (pembimbing atau penyuluh). Guru agama diharapkan
dapat bertugas sekaligus sebagai pendidik dan konselor tersebut. Mengingat
pendidikan agama adalah proses mempengaruhi dan membantu perkembangan anak
didik menjadi manusia dewasa beriman dan bertakwa yang sekaligus berilmu
pengetahuan, berdaya kreasi dan berprestasi tinggi dalam hidupnya sebagai warga
negara yang baik (Muzayyin Arifin, 2009: 171).
BAB II
PEMBAHASAN
Manusia
sebagai Konselor dan Sasaran konseling dalam Pendidikan
A. Pola-Pola
Kepribadian dan Dimensi Kemanusiaan
Pengklasifikasi manusia ke dalam pola-pola kepribadian yang
menghimpun pribadi-pribadi yang memiliki kesamaan ciri sesungguhnya merupakan
upaya yang membantu menjelaskan dan menafsirkan prilaku-prilaku mereka. Dalam
Al-Qur-an, manusia diklasifikasikan berdasarkan keyakinannya ke dalam tiga pola, yaitu: mukmin, kafir, dan munafik.
1.
Mukmin
Gambaran manusia mukmin yang diterangkan
dalam al-Qur’an merupakan gambaran manusia paripurna dalam kehidupan ini.
Mereka merupakan model bagi masyarakat yang telah dibentuk oleh rasulullah SAW pada
generasi pertama. Melalui generasi pertama inilah, Rasulullah mampu mengubah
wajah sejarah umat manusia dari bentuk jahiliyah ( kegelapan akidah ) menjadi
penuh dengan cahaya keimanan. Gambaran manusia paripurna tersebut terlihat
dari karakteristiknya antara lain manusia beriman kepada rabb-Nya secara
benar, berpegang teguh pada nilai-nilai kemanusian yang luhur dan akhlak mulia
dalam kahidupan pribadi, keluarga, masyarakat, dan dalam menghindari perbuatan
terlarang serta dalam beramal selalu bersikap ikhlas, amanah dan sempurna.
2.
Kafir
Gambar al-quran perihal kepribadian orang
kafir adalah mereka yang tidak beriman kepada keyakinan tauhid, tidak beriman
kepada rasul dan kitab-kitab yang diturunkanya, tidak beriman pada hari akhir,
kebangkitan, dan hisab, serta tidak beriman pada surga dan neraka. Mereka
bersifat taklid atas trradisi yang bisa dilakukan leluhurnya, berupa penyebab
berhala-berhalayang tidak memberi manfaat dan mudharat serta tidak dapat
mendengar, berbicara, dan berfikir. Mereka adalah pribadi-pribadi yang
mengalami kejumudan (stagnasi) berfikir dan tidak mampu menyelami hakikat
tauhid. Di samping itu, mereka juga bersikap sombong terhadap kaum mukmin atas
karunia dan kenikmatan yang dianugrakan kepadanya. Mereka adalah pribadi-pribadi
yang matarialistik dan opurtunistik yang sangat mementingkan kenikmatan dan
kesenangan dunia semata, sehingga mereka mengurutangi kehidupan yang sarat dengan kedurhakaan, kefasikan,
serta tenggelam dalam pemuasan hawa nafsu dan syawat.
3.
Munafik
Munafik adalah golongan manusia yang
memiliki kepribadian sangat lemah dan bimbang. Mereka tidak dapat membuat suatu
sikap yang jelas berkenaan dengan keimanan. Ciri kepribadian orang munafik yang
paling dasar adalah oportunis dan pengecut. Jika kaum muslimin memperoleh
keberuntungan, mereka mengatakan bahwa ia bersama mereka agar memperoleh
keberuntungan itu. Sebaliknya, jika orang-orang musrik yang mendapatkan
keberuntungan, pun mengatakan bahwa ia bersama merekan agar memperoleh
keberuntungan itu. Sikap pengecut mereka terlihat dari ketakutan mereka untuk
berjuang dengan berbagai macam alasan. Disamping itu, mereka selalu memperdaya
orang lain dan mempengaruhi orang lain dengan kata-kata manis dan penampilan
yang menawan (Samsul Nizar dan Muhammad
Syaifudin, 2010: 168).
Dari ketiga pola kepribadian yang di atas dapat di pahami, bahwa
sesungguhnya manusia adalah sosok makluk multidemensi, dimana di dalam dirinya
berkembang potensi untuk menjadi manusia mulia dan manusia hina. Oleh karena
itu, Allah SWT memberi berpeluang kepada manusia, dengan potensi akarnya, untuk
menentukan pilihan apakah menjadi manusia mukmin, kafir atau munafik.
Selanjutnya, jika diperhatikan secara mendalam, keberadaan dan
kehidupan manusia, baik seseorang maupun kelompok, tanpak gejala-gejala
mendasar sebagai berikut:
1.
Antara orang yang satu dengan orang-orang
lainya terdapat berbagai perbedaan yang kadang-kadang bahkan sangat besar.
2.
Semua orang memertlukan orang lain.
3.
Kehidupan manusia tidak bersifat acak atau pun
semabarangan, tetapi mengikuti aturan-aturan tertentu.
4.
Dari segi sudut agama, kehidupan tidak
semata-mata kehidupan didunia fana, melainkan juga mengjangkau kehidupan
akhirat.
Gejala-gejala mendasar dari uraian di atas menggambarkan
krakteristik, manusia yang bersifat spesifik yang membedakan dengan makhluk
lainya. Keempat gejala mendasar yang di uraikan tersebut yang merupakan dimensi
kehidupan. Dimensi disana dimaksudkan sebagai sesuatu yang secara hakiki ada
pada manusia di suatu segi dan di segi lain sebagai sesuatu yang dapat di
kembangkan (Samsul Nizar dan Muhammad
Syaifudin, 2010: 170).
B. Manusia Sebagai
Khalifah
Pembicaraan manusia sebagai khalifah
mengacuh kepada gambaran tugas yang seharusnya diperankan yang harus di
embannya. Kaitannya dengan peran manusia sebagai makhluk yang berpotensi untuk
menimbulkan masalah dan kemampuan menyelesaikan masalah. Dalam kegiaatan
konseling, sosok manusia di pandang sebagai konselor dan sasaran konseling (klien).
Di dalam Al-Qur’an, manusia
disebut dengan berbagai nama. Sehubungan dengan hal itu, berikut ini akan di
jelaskan setiap istilah (term) yang dimaksud antara lain:
1.
Konsep al-Basyr
Kata al-basyr terambil dari akar
kata yang pada mulanya berarti penampakkan sesuatu dengan baik dan indah.
Dari akar kata yang sama, lahir kata basyarah yang berarti kulit.
Manusia di katakan basyarah kerena kulitnya tampak jelas, dan berbeda
kulit binatang lainnya. Selanjutnya, manusia dalam konsep al-basyr di
pandang dari pendekatan biologis. Sebagai makhluk biologis, berarti manusia
terdiri dari unsur materi, sehingga menampilkan sosok dalam bentuk fisik
material, berupa tubuh kasar (ragawi) (Samsul Nizar dan Muhammad Syaifudin, 2010: 172).
Penunjukan kata al-basyr di
tunjukkan Allah kepada seluruh manusia tanpa terkecuali. Demikian pula halnya
dengan rasul-Nya. Hanya saja kepada mereka di berikan wahyu, sedangkan kepada
manusia umumnya tidak diberikan wahyu (Bukhari Umar, 2010: 2).
Dari konsep di atas dapat di pahami bahwa
manusia, secara biologis tidak jauh beda dengan makhluk biologis lainnya.
Manusia memiliki dorongan biologis seperti dorongan makanan dan minuman untuk
hidup, dan juga memerlukan pasangan hidup untuk melakukan proses kehidupannya.
Disamping itu, manusia mengalami proses akhirnya secara fisik, yaitu mati seperti
makhluk biologis lainnya (Samsul Nizar dan
Muhammad Syaifudin, 2010: 172).
2.
Konsep al-Insan
Manusia disebut dengan insan yaitu
makhluk terbaik yang di beri akal, sehingga mampu menyerap ilmu pengetahuan,
dengan kata lain manusia di sebut insan untuk menunjukkan bahwa manusia adalah
makhluk yang memiliki kecerdasan yang dapat terus berkembang. Atas dasar
potensi kecerdasan inilah, manusia dapat menduduki posisi sebagai khalaifah di
bumi yang memikul tanggung jawab taklif dan amanah (Fitri Ovianti, 2007: 317)
Kata Al-Insan terambil dari akar kata UNS
yang berekti jinak, harmonis, dan tampak. Pendapat ini, jika ditinjau dari
sedut pandangan Al-Qur’an lebih tepat dari yang berpendapat bahwa ia terambil
dari kata nasiya yang berarti lupa
atau nasa-yanusu yang berakti
berguncang. Di dalam Al-Qur’an, mengunakan kata al-insan mengacu kepada potensi yang di anugerahkan Allah kepada
manusia seperti potensi untuk tumbuh dan berkembang secara fisik dan juga
mental spiritual. Potensi tersebut meliputi potensi untuk mengembangkan diri
secara positif yang meberi peluang bagi manusia untuk mengembangkan kualitas
sumber daya insaninya, sehingga diharapkan dapat menjadi makhluk ciptaan Allah
yang mengabdi kepada Penciptanya. Selain itu, manusia juga memiliki potensi
negatif yang berpeluang untuk mendorong manusia ke arah tindakan, sikap dan
prilaku yang menjerumuskan dirinyta kepada jurang kehinaan dan penderitaan
hidup.
Terdapat potensi yang negatif tersebut, manusia,
sebagai makhluk alternatif, diharapkan mampu mengatasinya sehinggah dapat
mengantarkan dirinya kepada possisi yang terhormat dan mulia (Samsul Nizar
dan Muhammad Syaifudin, 2010: 173).
3.
Konsep al- Nas
Di dalam Al-Qur’an, kata al-Nas
terulang sebanyak 24 kali dan pada umumnya dihubungkan dengan fungsi manusia
sebagai makhluk sosial. Manusia diciptakan sebagai makhluk bermasyarakat, yang
berawal dari pasangan laki-laki dan perempuan, kemudian menjadi suku dan bangsa,
untuk saling mengenal. Manusia merupakan makhluk sosial yang secara fitrah
senang hidup berkelompok, sejak dari bentuk satua yang terkecil (keluarga)
hingga ke paling besar dan kompleks, yaitu bangsa dan umat manusia.
Sejalan dengan konteks tersebut, manusia
diharapkan mampu menciptakan keharmonisan hidup baik pada ruang lingkup yang
paling sederhana yaitu keluarga mampu pada ruang lingkup yang lebih luas yaitu
masyarakat. Kemampuan untuk memerankan diri sebagai makhluk sosial, dikaitkan
dengan konsep beriman dan beramal sholeh
(Samsul Nizar dan Muhammad Syaifudin,
2010: 174).
4.
Konsep Bani Adam
Manusia
sebagai Bani Adam, termaktub di 7 tempat dalam Al-Qur’an. Manusia
sebagai Bani Adam dikaitkan dengan gambaran peran Adam AS, saat awal
diciptakan. Di kala Adam AS akan diciptakan para malaikat seakan
mengkhawatirkan kehadiran makhluk ini. Mereka memperkirakan dengan penciptanya,
manusia akan menjadi biang keladi kerusakan dan pertumpahan darah. Kemudian
terbukti bahwa Adam AS dan isterinya Hawa, karena kekeliruan kahirnya terjebak
oleh hasutan setan sehingga keduanya dikeluarkan dari surga sebagai hukuman
atas kelalaian yang mereka perbuat.
Dapat di pahami bahwa manusia selaku Bani
Adam di pandang sebagai makhluk yang
bermasalah karena berpeluang untuk tergoda oleh setan. Oleh karena itu manusia
diharapkan mampu menjaga kemuliaan dirinya dan kehormati nilai-nilai
kemanusiaan (Samsul Nizar dan Muhammad
Syaifudin, 2010: 174)
5.
Konsep al-Ins
Kata al-Ins merupakan homonim dari
kata al-Jins dan al-Nufur. Menurut M. Quraish Shihab, kata al-Insan
terambil dari akar kata uns yang berakti jinak, harmonis, dan
tampak. Sementara menurut Bintu Syahti’, kata al-Ins selalu disebut
bersamaan dengan kata jin sebagai lawan katanya. Pesan makna yang dapat
di tangkap mengenai sisi kemanusiaan dari kata al-ins adalah bahwa
manusia merupakan makhluk yang bersifat kongkrit (nyata) yang terkait oleh taklif
(tugas keagamaan) yang merupakan amanat
dari Allah yang harus dipikulnya. Hal ini dikarenakan manusia dibekali dengan
keistimewaan ilmu, pandai bicara, mempunyai akal yang mampu berfikir (Samsul
Nizar dan Muhammad Syaifudin, 2010:
175).
6.
Konsep Abd Allah
Al-Qur-an juga menamakan manusia dengan Abd
Allah yang berakti abdi atau hambah Allah. Al-Qur-an juga menamakan manusia
dengan Abd Allah yang berakti abdi atau hambah Allah. Menurut M. Quraish
Shihab, seluruh makluk yang memiliki
potensi berperan dan berkehendak
adalah Abd Allah dalam arti dimiliki Allah. Kepemilikan Allah terhadap makhluk
tersebut merupakan kepemilikan mutlak dan sempurna. Dengan demikian, Abd Allah
tidak dapat berdiri sendiri dalam kehidupan dan seluruh aktivitasnya dalam
kehidupan itu (Samsul Nizar dan Muhammad
Syaifudin, 2010: 176)
Menyangkut unsur immaterial, ditemukan
antara lain dalam uraian tentang
sifat-sifat manusia, dan dari uraian tentang fitrah, nafs, qlb, dan ruh
yang menghiasi makhluk manusia. Berikut ini akan dijelaskan secara sepintas
unsur-unsur tersebut:
a. Konsep Fitrah
Kata Fitrah di ambil dari akar
kata al-fathr yang berakti belahan, dan dari makna ini lahir makna-makna lain
yaitu penciptaan dan kejadian. Banyak kalangan memahami bahwa fitrah manusia
adalah kejadiannya sejak semula atau
bawaan sejak lahirnya. Fitrah identik dengan potensi aqliyyahnya
seperti senang bila menerima nikmat dan sedih bila ditimpa musibah.
b. Konsep Nafs
Kata Nafs dalam Al-Qur’an
mempunyai aneka makna, sekali di artikan sebagai totalitas manusia. Secara umum
dapat dikatakan bahwa nafs dalam konteks pembicaraan tentang manusia,
merujuk kepada sisi dalam diri manusia yang berpotensi baik dan buruk. Naumana
Abjad mengidentikkan Nafs dengan jiwa atau psike yang merupakan
daerah perbatasan yang menghubungkan aspek fisik manusia dengan diri spiritualnya,
dan ia bersifat lembut tetapi berisi bentuk-bentuk (imajinasi, sensasi, ide,
dll)
c. Konsep Qalb
Kata Qalb terambil dari akar kata
yang bermakna bolak balik. Hal ini disebabkan ia memiliki sifat dasar (potensi)
untuk tidak konsisten, misalnya sekali senang, sekali susah, sekali setuju
sekali tidak setuju. Qalb menampung hal-hal yang disadari oleh
pemiliknya, sedangkan nafs menampung apa yang berada dibawah sadar atau
sesuatu yang tidak di ingat lagi. Dapat di pahami bahwa qalb adalah
salah satu organ dalam tubuh manusia yang akan menyatuh dengan akal.
d. Konsep Ruh
Kata Ruh terulang sebanyak 24 kali dalam
Al-Qur’an dengan berbagai konteks dan berbagai makna, dan tidak semua
berkaiatan dengan manusia. Ada uraian tentang ruh yang membawa Al-Quran
pada malam lailat al-Qadr, ada juga yang berarti sesuatu yang
dianugerahkannya kepada orang mukmin, bahkan ada yang memahami bahwa ruh
itu adalah nyawa (sekalipun ada yang tidak sependapat, karna ruh hanya
dimiliki oleh manusia sedangkan nyawa juga dimiliki oleh binatang).
7.
Konsep Khalifah
Kata khulafa adalah bentuk jamak
dari kata Khalifah yang berarti “pengganti”. Secara istilah, berarti
“pemimpin” (Tim Bina Karya Guru, 2009:
2). Sejak dari awal penciptaan, manusia pertama (Adam) dipilih sebagai Khalifah
di muka bumi. Kata Khalifah berarti di belakang, dan karna itu
sering diartikan pengganti (karena yang menggantikan selalu berada di
belakang, atau datang sesudah yang digantikan).
Tugas kekhalifahan ternyata mempunyai
bentuk yang lebih kompleks yaitu menjalin hubungan dengan sesama manusia dan
sesama makhluk yang meliputi hewan, tumbuh-tumbuhan, dan benda alam lainya, sedangkan
tanggung jawab manusia sebagai khalifah berupa pelaksanaan amanat untuk
membangun dan mengelolah didunia ini sesuai dengan kehendak sang pencipta.
Selanjutnya, didalam amanat kekhalifahan manusia sekurang-kurangnya terangkum
dua, yaitu : 1) kesanggupan manusia untuk mengembangkan sifat-sifat Tuhan pada
dirinya, dan 2) kesanggupan manusia untuk mengurus sumber-sumber yang ada di
bumi.
Dari uraian di atas, dapat di pahami bahwa dalam rangka menjalankan
tugas dan fungsinya sebagai Khalifah, manusia senantiasa di bimbing oleh allah,
bimbingan itu dapat dilakukan secara langsung seperti bimbingan Allah terhadap
para Nabi dan manusia lainya sesuai dengan tintah-Nya. Dengan bimbingan yang
diberikan oleh Allah, di harapkan manusia tidak akan tersesat dan tidak
mengikuti jalan setan dalam memecahkan segala persoalan (problem) hidup yang di
hadapinya (Samsul Nizar dan Muhammad
Syaifudin, 2010: 185)
C. Manusia Sebagai
Konselor dan Sasaran Konseling
Dipandang dari sudut agama, kegiatan bimbingan dan konseling dirsakan
perlu karena manusia siapapun dia pasti mempunyai masalah, hanya saja
tergantung pada siri orng itu sendiri bagaimana menerimanya. Pengertian
bimbingan dan konseling agama menurut HM. Arifin adalah usaha pemberian bantuan
kepada seseorang yang mengalami kesulitan baik lahiriah maupun bathiiah yang
menyangkut kehidupannya dimasa kini dan di masa mendatang (Emis Suryana, 2010:
11).
Manusia, sebagai khalifah, dituntut untuk mampu
mengembangkan dimensi-dimensi-dimensi kemanusiaan yang ada pada dirinya yaitu kepribadian yang matang,
kemampuan sosial yang menyejukkan, kesesilaan yang tinggi, dan keimanan serta
ketakwaan yang mendalam. Tetapi, kenyataanyan
yang sering di jumpai adalah keadaan pribadi yang kurang berkembang dan
rapuh, kesosialan yang panas dan sangar, kesusilaan yang rendah, keimanan serta
ketakwaan yang dangkal.
Berbagai persoalan (problema) tersebut tumbuh dan berkembang
seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Problema tersebut
baik dari sifat, siakap, prilaku maupun keyakinan kepada agamanya. Pergeseran
nilai seperti di atas mengakibatkan hilangnya identitas kepribadian muslim yang
sempurna. Pada saat seseorang mengalami problema dalam kehidupannya, ia pasti
membutuhkan orang lain untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang dihadapi
(Samsul Nizar dan Muhammad Syaifudin,
2010: 185).
Dalam kaitanya dengan dunia konseling, ungkapan di atas memberikan
petunjuk kepada umat manusia agar senentiasa membagi suka dan duka kepada
sesama saudaranya, terutama sesama muslim, dalam mengatasi berbagai persoalan
yang dihadapinya. Hal ini menunjukkan bahwa manusia, sebagai individu dan
makhluk sosial, memiliki peran ganda yaitu pada suatu saat berperan sebagai
seseorang yang akan memberikan bantuankepada orang lain(konselor) dan pada saat
lain berperan sebagai orang yang memerlukan bantuan orang lain(klien) dalam
mengatasi berbagai persoalan hidup yang di hadapi (Samsul Nizar dan Muhammad Syaifudin, 2010: 186).
Dalam Proses Bimbingan dan Konseling akan menempuh beberapa
langkah, yaitu: (1) menentukan masalah, (2) mengumpulkan masalah, (3) analisis
data, (4) diagnosis, (5) prognosis, (6) konseling atau treatment, dan
(7) evaluasi atau follow up (Dewa Ketut Sukardi, 2000: 153).
Kualitas-kualitas dan nilai-nilai pribadi apakah yang memeudahkan proses konseling?
Dalam suatu studi di Florida (USA), konseli-konseli diwawancarai mengenai
nilai-nilai dan kualitas-kualitas pribadi yang membuat konselor mereka efektif
atau tidak efektif. Konseli-konseli tersebut menjawab sebagai berikut:
1. Konselor-konselor yang efektif memandang
manusia sebagai pribadi, dan memiliki kapasitas untuk menangai
masalah-masalahnya;
2. Konselor-konselor yang efektif memandang
manusia sebagai orang yang ramah yang bersedia menerima orang lain, dan
bertujuan baik;
3. Konselor-konselor yang efektif menganggap
manusia mempunyai mempunyai pembawaan yang bernilai dan perlu dihargai.
4. Konselor-konselor yang efektif memandang
manusia sebagai pribadi yang berkembang dari dalam, sebagai pribadi yang
kreatif dan dinamis.
5. Konselor-konselor yang efektif memandang
manusia sebagai pribadi yang dapat dipercaya, dapat digantungi, dapat
bertanggung jawab dan tingkah lakunya dapat dipahami.
6. Konselor-konselor yang efektif memandang
manusia sebagai pribadi yang secara potensial dapat mencapai kebahagiaan, mampu
mengembangkan diri, serta dapat pula menjadi sumber bagi orang lain untuk
memperoleh kebahagiaan.
Seorang konselor, seperti yang dikemukakan oleh Wrenn, harus “tidak
hanya memberi makan kepada ‘kepalanya’ tetapi juga perasaan/hati dan jiwanya”.
Seorang konselor mempunyai sifat dan sikap yang berpengaruh positif
proses konseling, diantaranya yaitu:
1. Wajar
Di dalam proses konseling kewjaran dari konselior mutlak
diperlukan, artinya sikap dan tingkah laku konselor harus wajar dan tidak
dibuat-buat.
2. Ramah
Keramahan dalam arti yang wajar sangat diperlukan bagi seorang
konselor di dalam proses konseling. Keramahan konselor dapat membuat konseli
merasa enak dan aman berhadapan dengan konselor.
3. Hangat
Kehangatan juga mempunyai pengaruh yang penting di dalam suksesnya
proses konseling. Oleh karena itu sikap hangat juga diperlukan oleh seorang
konselor.
4. Bersungguh-sungguh
Konselor harus sungguh-sungguh mau melibatkan diri dari berusaha
menolong kliennya dalam memecahkan masalah yang dihadapinya.
5. Kreatif
Sikap kreatif konselor sangat berguna bagi suksesnya proses
konseling. Hal ini disebabkan karena objek dari dunia bimbingan adalah individu
yang unik.
6. Fleksibel
Sikap fleksibel atau luwes dari konselor sangat menolong
tercapainya tujuan konselin (Kartini Kartono, 1985: 45).
Untuk dapat mengemban tugas-tugas sebagaimana disebutkan di atas
dengan optimal, konselor harus memenuhi beberapa persyaratan tertentu, antara
lain:
1.
Syarat pendidikan formal, seorang guru
pembimbing/konselor harus benar-benar seorang sarjana bimbingan dan harus
memiliki ijazah dari sekolahnya serta menguasai berbagai bidang ilmu.
2.
Di dalam segi psikologi, seorang konselor harus
mempunyai kemantapan di dalam psikologinya terutama dalam segi emosinya.
3.
Harus mempunyai kecintaan terhadap pekerjaannya
dan juga terhadap anak atau individu yang dihadapinya.
4.
Harus memiliki inisiatif yang cukup baik (Emis
Suryana, 2009: 213).
Peran sebagai konselor dan klien (sasaran konseling) dapat dipahami
dari uraian berikut ini:
1.
Allah berperan sebagai konselor dan para Nabi /
Rasul sebagai kliennya
2.
Rasul berperan sebgai konselor dan Umatnya
sebagai klien
3.
Orang tua berperan sebagai konselor dan
anak-anaknya sebagai kliennya
4.
Guru berperan sebagai konselor dan murid
sebagai kliennya.
Prof. Sofyan S. Will memaparkan secara panjang lebar kualifikasi
seorang konselor. Menurnya, kualitas konselor adalah semua kriterial
keunggulan, termasuk pribadi, pengetahuan, wawasan, keterampilan, dan
nilai-nilai yang dimilikinya yang akan memudahkannya dalam menjalankan proses
konseling sehinggah mencapai tujuan dengan berhasil(efaktif). Salah satu
kualitas yang jarang di bicarakan adalah kualitas pribadi konselor. Kualitas
pribadi konselor adalah kriterial yang
menyangkut segala aspek kepribadian yang amat penting dan menentukan
keefektifan konselor jika bi bandingkan dengan latihan yang di peroleh (Anas Salahuddin,
2010: 193).
Dikaitkan dengan era globalisasi dan informasi, perubahan-perubahan
yang dibawa oleh semangat globalisasi dan arus informasi akan lebih deras lagi
menggoncang masyarakat dan sekolah, kampus dan tatanan kehidupan dalam segenap
seginya. Akibat yang akan di timbulkan adalah semakin banyaknya individu, anak-anak
dan remaja peserta didik disekolah, para pemuda dan warga masyarakat lainya yang
terhimpit oleh tantangan ketidakpastian, terlempar dan terhempas dan keinginan
yang tidak dapat dipenuhi.
Berkaitan dengan hal tersebut, sekolah diharapkan dapat menjalankan
fungsinya secara penuh yaitu menyelenggarakan pendidikan dalam arti yang seluas-luasnya.
Penyelenggaraan pengajaran saja, apabila kalau pengajar diartikan secara
sempit, dikhawatirkan di suatu segi menjurus kepada pengembangan kemampuan
kognitif yang tidak seimbang, dari segi lain tidak banyak menyentuh
pengembangan keempat dimensi kemanusiaan secara serasi, selaras, dan seimabang.
Sekolah dengan sekuat tenaga perlu menciptakan suasana pengajaran dan suasana
kelas yang menyejukkan, bersemangat,
luwes dan subur. Isi pengajaran dalam arti yang luas itu secara langsung
mengait materi-materi yang relevan dengan keempat dimensi dan pengembangan
manusia seutuhnya itu.
BAB III
PENUTUP
Rekomendasi
Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa manusia sebagai khalifah
Allah memiliki potensi untuk menjadi seseorang konselor (pemberi bimbingan)
dan klien (penerima bimbingan). Hal ini di karenakan manusia zaman nabi Adam
sampai sekarang dan pada masa yang akan datang, manusia di pandang sebagai
makhluk yang sentiasa penuh dengan masalah. Mereka sentiasa dihadapkan dengan
berbagai permasalahan (problem) kehidupan yang mau tidak mau atau siap tidak
siap harus di selesaikan/di cari solusinya.
Penjelasan problem tersebut dimaksud agar manusia dapat meraih
kebagiaan-kesenangan hidup. Kalau tidak, biasa akan menjerumuskan manusia
kepada kesengsaraan-kenistaaan, bahkan kesesatan.
Pernyataan di atas menggambarkan bahwa betapapun kesempurnaan yang
dimiliki manusia sebagai Khalifah Allah dengan segudang potensi yang
dimilikinya, namun mereka tidak dapat melepas diri dari bimbingan dan konseling
baik secara langsung yang berasal dari Allah maupun secara tidak langsung dari
sesama manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Muzayyin. 2009. Kapita Selekta
Pendidikan Islam. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Ash-Shughair, Falih bin Muhammad. 2006. Menjadikan Puasa Lebih
Bermakna. Jakarta: Senayan Abadi Publishing.
As-salus, Ali. 1997. Imamah
dan Khalifah. Jakata: Gema Insani Press.
Hasan, Ali. 2000. Studi Islam. Jakarta: Srigunting.
Hikmawati, Fenti.
2011. Bimbingan Konseling: Edisi Revisi. Jakarta: Rajawali Pers.
Jalaludddin dan Idi Abdullah. 2011. Filsafat Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Kartono, Kartini. 1985. Bimbingan dan Dasar-dasar
Pelaksanaannya. Jakarta: CV Rajawali.
Nizar, Samsul dan Muhammad Syaifuddin.
2010. Isu-isu Kontemporer Tentang Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam
Mulia.
Ovianti, Fitri. 2007. Metodelogi
Studi Islam. Palembang: IAIN Raden Fatah Press.
Salahudin, Anas. 2010. Bimbingan
dan Konseling. Bandung: Pustaka Setia.
Sukardi, Dewa Ketut. 2000. Pengantar
Pelaksanaan Program Bimbingan dan Konseling di Sekolah. Jakarta: Rineka
Cipta.
Suryana, Ermis.
2009. Bimbingan dan Konseling di Sekolah. Palembang: CV. Grafika
Telindo.
------------------.
2010. Bimbingan dan Konseling di Sekolah. Palembang: CV. Grafika
Telindo.
Suwardi. 2007. Manajemen Pembelajaran. Jawa Tengah: STAIN
Salatiga Press.
Tim Bina Karya Guru. 2009. Bina Sejarah Kebudayaan Islam. Jakarta:
Erlangga.
Tohirin. 2007. Bimbingan dan
Konseling di Sekolah dan Madrasah. Jakarta: Rajawali Pers.
Umar, Bukhari. 2010. Ilmu
Pendidikan Islam. Jakarta: Amzah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar