IMAM SYAFI’I
Nama Dan Nasabnya
Beliau adalah Muhammad bin Idris bin al-‘Abbas bin Utsman bin
Syafi’ bin as-Saib bin ‘Ubaid bin ‘Abdu Yazid bin Hasyim bin Murrah bin
al-Muththalib bin ‘Abdi Manaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka’b bin
Lu`ay bin Ghalib Abu ‘Abdillah al-Qurasyi asy-Syafi’i al-Makki, keluarga dekat
Rasulullah SAW dan putera pamannya.
Al-Muththalib adalah saudara Hasyim yang merupakan ayah dari ‘Abdul
Muththalib, kakek Rasulullah SAW. Jadi, Imam asy-Syafi’i berkumpul (bertemu
nasabnya) dengan Rasulullah pada ‘Abdi Manaf bin Qushay, kakek Rasulullah yang
ketiga.
Sebutan “asy-Syafi’i” dinisbatkan kepada kakeknya yang bernama
Syafi’ bin as-Saib, seorang shahabat junior yang sempat bertemu dengan Raasulullah
SAW ketika masih muda. Sedangkan as-Saib adalah seorang yang mirip dengan
Rasulullah SAW sebagaimana diriwayatkan bahwa ketika suatu hari Nabi SAW berada
di sebuah tempat yang bernama Fushthath, datanglah as-Saib bin ‘’Ubaid beserta
puteranya, yaitu Syafi’ bin as-Saib, maka Rasulullah SAW berkata, “Adalah suatu
kebahagiaan bila seseorang mirip dengan ayahnya.” Sementara ibunya berasal dari
suku Azd, Yaman.
Gelarnya
Ia digelari sebagai Naashir al-Hadits (pembela hadits) atau Nasshir
as-Sunnah, gelar ini diberikan karena pembelaannya terhadap hadits Rasulullah
SAW dan komitmennya untuk mengikuti as-Sunnah.
Kelahiran Dan Pertumbuhannya
Para sejarawan sepakat, ia lahir pada tahun 150 H, yang merupakan
-menurut pendapat yang kuat- tahun wafatnya Imam Abu Hanifah RAH tetapi
mengenai tanggalnya, para ulama tidak ada yang memastikannya.
Tempat Kelahirannya
Ada banyak riwayat tentang tempat kelahiran Imam asy-Syafi’i. Yang
paling populer adalah bahwa beliau dilahirkan di kota Ghazzah (Ghaza). Pendapat
lain mengatakan, di kota ‘Asqalan bahkan ada yang mengatakan di Yaman.
Imam al-Baihaqi mengkonfirmasikan semua riwayat-riwayat tersebut
dengan mengatakan bahwa yang shahih beliau dilahirkan di Ghaza bukan di Yaman.
Sedangkan penyebutan ‘Yaman’ barangkali maksudnya adalah tempat yang dihuni oleh
sebagian keturunan Yaman di kota Ghaza. Beliau kemudian lebih mendetail lagi
dengan mengatakan, “Seluruh riwayat menunjukkan bahwa Imam asy-Syafi’i
dilahirkan di kota Ghaza, lalu dibawa ke ‘Asqalan, lalu dibawa ke Mekkah.”
Ibn Hajar mengkonfirmasikan secara lebih spesifik lagi dengan
mengatakan tidak ada pertentangan antar riwayat-riwayat tersebut (yang
mengatakan Ghaza atau ‘Asqalan), karena ketika asy-Syafi’i mengatakan ia lahir
di ‘Asqalan, maka maksudnya adalah kotanya sedangkan Ghaza adalah kampungnya.
Ketika memasuki usia 2 tahun, ibunya membawanya ke negeri Hijaz dan berbaur
dengan penduduk negeri itu yang terdiri dari orang-orang Yaman, karena ibunya
berasal dari suku Azd. Ketika berumur 10 tahun, ia dibawa ibunya ke Mekkah
karena ibunya khawatir nasabnya yang mulia itu lenyap dan terlupakan.
Pertumbuhan Dan Kegiatannya Dalam Mencari Ilmu
Imam asy-Syafi’i tumbuh di kota Ghaza sebagai seorang yatim, di
samping itu juga hidup dalam kesulitan dan kefakiran serta terasing dari
keluarga. Kondisi ini tidak menyurutkan tekadnya untuk hidup lebih baik.
Rupanya atas taufiq Allah, ibunya membawanyanya ke tanah Hijaz, Mekkah. Maka
dari situ, mulailah imam asy-Syafi’i kecil menghafal al-Qur’an dan berhasil
menamatkannya dalam usia 7 tahun.
Menurut pengakuan asy-Syafi’i, bahwa ketika masa belajar dan
mencari guru untuknya, ibunya tidak mampu membayar gaji gurunya, namun gurunya
rela dan senang karena dia bisa menggantikannya pula. Lalu ia banyak menghadiri
pengajian dan bertemu dengan para ulama untuk mempelajari beberapa masalah
agama. Ia menulis semua apa yang didengarnya ke tulang-tulang yang bila sudah
penuh dan banyak, maka ia masukkan ke dalam karung.
Ia juga bercerita bahwa ketika tiba di Mekkah dan saat itu masih
berusia sekitar 10 tahun, salah seorang sanak saudaranya menasehati agar ia
bersungguh-sungguh untuk hal yang bermanfa’at baginya. Lalu ia pun merasakan
lezatnya menuntut ilmu dan karena kondisi ekonominya yang memprihatinkan, untuk
menuntut ilmu ia harus pergi ke perpustakaan dan menggunakan bagian luar dari
kulit yang dijumpainya untuk mencatat.
Hasilnya, dalam usia 7 tahun ia sudah hafal al-Qur’an 30 juz, pada
usia 10 tahun (menurut riwayat lain, 13 tahun) ia hafal kitab al-Muwaththa`
karya Imam Malik dan pada usia 15 tahun (menurut riwayat lain, 18 tahun) ia
sudah dipercayakan untuk berfatwa oleh gurunya Muslim bin Khalid az-Zanji. Semula
beliau begitu gandrung dengan sya’ir dan bahasa di mana ia hafal sya’ir-sya’ir
suku Hudzail. Bahkan, ia sempat berinteraksi dengan mereka selama 10 atau 20
tahun. Ia belajar ilmu bahasa dan balaghah. Dalam ilmu hadits, ia belajar
dengan imam Malik dengan membaca langsung kitab al-Muwaththa` dari hafalannya
sehingga membuat sang imam terkagum-kagum. Di samping itu, ia juga belajar
berbagai disiplin ilmu sehingga gurunya banyak.
Pengembaraannya Dalam Menuntut Ilmu
Imam asy-Syafi’i amat senang dengan syair dan ilmu bahasa, terlebih
lagi ketika ia mengambilnya dari suku Hudzail yang dikenal sebagai suku Arab
paling fasih. Banyak bait-bait syair yang dihafalnya dari orang-orang Hudzail
selama interaksinya bersama mereka. Di samping syair, beliau juga menggemari
sejarah dan peperangan bangsa Arab serta sastra.
Kapasitas keilmuannya dalam bahasa ‘Arab tidak dapat diragukan
lagi, bahkan seorang imam bahasa ‘Arab, al-Ashmu’i mengakui kapasitasnya dan
mentashhih sya’ir-sya’ir Hudzail kepadanya.
Di samping itu, imam asy-Syafi’i juga seorang yang bacaan
al-Qur’annya amat merdu sehingga membuat orang yang mendengarnya menangis
bahkan pingsan. Hal ini diceritakan oleh Ibn Nashr yang berkata, “Bila kami
ingin menangis, masing-masing kami berkata kepada yang lainnya, ‘bangkitlah
menuju pemuda al-Muththaliby yang sedang membaca al-Qur’an,” dan bila kami
sudah mendatanginya sedang shalat di al-Haram seraya memulai bacaan al-Qur’an,
orang-orang merintih dan menangis tersedu-sedu saking merdu suaranya. Bila
melihat kondisi orang-orang seperti itu, ia berhenti membacanya.
Di Mekkah, setelah dinasehati agar memperdalam fiqih, ia berguru
kepada Muslim bin Khalid az-Zanji, seorang mufti Mekkah. Setelah itu, ia dibawa
ibunya ke Madinah untuk menimba ilmu dari Imam Malik. Di sana, beliau berguru
dengan Imam Malik selama 16 tahun hingga sang guru ini wafat (tahun 179 H).
Pada saat yang sama, ia belajar pada Ibrahim bin Sa’d al-Anshary, Muhammad bin
Sa’id bin Fudaik dan ulama-ulama selain mereka.
Sepeninggal Imam Malik, asy-Syafi’i merantau ke wilayah Najran
sebagai Wali (penguasa) di sana. Namun betapa pun keadilan yang ditampakkannya,
ada saja sebagian orang yang iri dan menjelek-jelekkannya serta mengadukannya
kepada khalifah Harun ar-Rasyid. Lalu ia pun dipanggil ke Dar al-Khilafah pada
tahun 184 H. Akan tetapi beliau berhasil membela dirinya di hadapan khalifah
dengan hujjah yang amat meyakinkan sehingga tampaklah bagi khalifah bahwa
tuduhan yang diarahkan kepadanya tidak beralasan dan ia tidak bersalah, lalu
khalifah menjatuhkan vonis ‘bebas’ atasnya. (kisah ini dimuat pada rubrik
‘kisah-kisah islami-red.,).
Beliau kemudian merantau ke Baghdad dan di sana bertemu dengan
Muhammad bin al-Hasan asy-Syaibany, murid Imam Abu Hanifah. Beliau membaca
kitab-kitabnya dan mengenal ilmu Ahli Ra`yi (kaum Rasional), kemudian kembali
lagi ke Mekkah dan tinggal di sana selama kurang lebih 9 tahun untuk
menyebarkan madzhabnya melalui halaqah-halaqah ilmu yang disesaki para penuntut
ilmu di Haram, Mekkah, demikian juga melalui pertemuannya dengan para ulama
saat berlangsung musim haji. Pada masa ini, Imam Ahmad belajar dengannya.
Kemudian beliau kembali lagi ke Baghdad tahun 195 H. Kebetulan di
sana sudah ada majlisnya yang dihadiri oleh para ulama dan disesaki para
penuntut ilmu yang datang dari berbagai penjuru. Beliau tinggal di sana selama
2 tahun yang dipergunakannya untuk mengarang kitab ar-Risalah. Dalam buku ini,
beliau memaparkan madzhab lamanya (Qaul Qadim). Dalam masa ini, ada empat orang
sahabat seniornya yang ‘nyantri’ dengannya, yaitu Ahmad bin Hanbal, Abu Tsaur,
az-Za’farany dan al-Karaabiisy.
Kemudian beliau kembali ke Mekkah dan tinggal di sana dalam waktu
yang relatif singkat, setelah itu meninggalkannya menuju Baghdad lagi, tepatnya
pada tahun 198 H. Di Baghdad, beliau juga tinggal sebentar untuk kemudian meninggalkannya
menuju Mesir.
Beliau tiba di Mesir pada tahun 199 H dan rupanya kesohorannya
sudah mendahuluinya tiba di sana. Dalam perjalanannya ini, beliau didampingi
beberapa orang muridnya, di antaranya ar-Rabi’ bin Sulaiman al-Murady dan
‘Abdullah bin az-Zubair al-Humaidy. Beliau singgah dulu di Fushthath sebagai
tamu ‘Abdullah bin ‘Abdul Hakam yang merupakan sahabat Imam Malik. Kemudian
beliau mulai mengisi pengajiannya di Jami’ ‘Amr bin al-‘Ash. Ternyata,
kebanyakan dari pengikut dua imam sebelumnya, yaitu pengikut Imam Abu Hanifah
dan Imam Malik lebih condong kepadanya dan terkesima dengan kefasihan dan
ilmunya.
Di Mesir, beliau tinggal selama 5 tahun di mana selama masa ini
dipergunakannya untuk mengarang, mengajar, berdebat (Munazharah) dan
meng-counter pendapat-pendapat lawan. Di negeri inilah, beliau meletakkan
madzhab barunya (Qaul Jadid), yaitu berupa hukum-hukum dan fatwa-fatwa yang
beliau gali dalilnya selama di Mesir, sebagiannya berbeda dengan pendapat fiqih
yang telah diletakkannya di Iraq. Di Mesir pula, beliau mengarang buku-buku
monumentalnya, yang diriwayatkan oleh para muridnya.
Kemunculan Sosok Dan Manhaj (Metode) Fiqihnya
Mengenai hal ini, Ahmad Tamam di dalam bukunya asy-Syaafi’iy:
Malaamih Wa Aatsaar menyebutkan bagaimana kemunculan sosok asy-Syafi’i dan
manhaj fiqihnya. Sebuah manhaj yang merupakan paduan antara fiqih Ahli Hijaz
dan fiqih Ahli Iraq, manhaj yang dimatangkan oleh akal yang menyala,
kemumpunian dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, kejelian dalam linguistik Arab dan
sastra-sastranya, kepakaran dalam mengetahui kondisi manusia dan
permasalahan-permasalahan mereka serta kekuatan pendapat dan qiyasnya.
Bila kembali ke abad 2 M, kita mendapati bahwa pada abad ini telah
muncul dua ‘’perguruan’ (Madrasah) utama di dalam fiqih Islam; yaitu perguruan rasional
(Madrasah Ahli Ra`yi) dan perguruan hadits (Madrasah Ahli Hadits). Perguruan
pertama eksis di Iraq dan merupakan kepanjangan tangan dari fiqih ‘Abdullah bin
Mas’ud yang dulu tinggal di sana. Lalu ilmunya dilanjutkan oleh para sahabatnya
dan mereka kemudian menyebarkannya. Dalam hal ini, Ibn Mas’ud banyak
terpengaruh oleh manhaj ‘Umar bin al-Khaththab di dalam berpegang kepada akal
(pendapat) dan menggali illat-illat hukum manakala tidak terdapat nash baik
dari Kitabullah mau pun dari Sunnah Rasulullah SAW. Di antara murid Ibn Mas’ud
yang paling terkenal adalah ‘Alqamah bin Qais an-Nakha’iy, al-Aswad bin Yazid
an-Nakha’iy, Masruq bin al-Ajda’ al-Hamadaany dan Syuraih al-Qadly. Mereka
itulah para ahli fiqih terdepan pada abad I H. Setelah mereka, perguruan Ahli
Ra`yi dipimpin oleh Ibrahim bin Yazid an-Nakha’iy, ahli fiqih Iraq tanpa
tanding. Di tangannya muncul beberapa orang murid, di antaranya Hammad bin
Sulaiman yang menggantikan pengajiannya sepeninggalnya. Hammad adalah seorang
Imam Mujtahid dan memiliki pengajian yang begitu besar di Kufah. Pengajiannya
ini didatangi banyak penuntut ilmu, di antaranya Abu Hanifah an-Nu’man yang
pada masanya mengungguli semua rekan sepengajiannya dan kepadanya berakhir
tampuk kepemimpinan fiqih. Ia lah yang menggantikan syaikhnya setelah wafatnya
dan mengisi pengajian yang diselenggarakan perguruan Ahli Ra`yi. Pada masanya,
banyak sekali para penuntut ilmu belajar fiqih dengannya, termasuk di antaranya
murid-muridnya yang setia, yaitu Qadi Abu Yusuf, Muhammad bin al-Hasan, Zufar,
al-Hasan bin Ziyad dan ulama-ulama selain mereka. Di tangan-tangan mereka
itulah akhirnya metode perguruan Ahli Ra`yi mengkristal, semakin eksis dan
jelas manhajnya.
Sedangkan perguruan Ahli Hadits berkembang di semenanjung Hijaz dan
merupakan kepanjangan tangan dari perguruan ‘Abdullah bin ‘Abbas, ‘Abdullah bin
‘Umar, ‘Aisyah dan para ahli fiqih dari kalangan shahabat lainnya yang berdiam
di Mekkah dan Madinah. Penganut perguruan ini banyak melahirkan para imam
seperti Sa’id bin al-Musayyab, ‘Urwah bin az-Zubair, al-Qasim bin Muhammad, Ibn
Syihab az-Zuhry, al-Laits bin Sa’d dan Malik bin Anas. Perguruan ini unggul
dalam hal keberpegangannya sebatas nash-nash Kitabullah dan as-Sunnah, bila
tidak mendapatkannya, maka dengan atsar-atsar para shahabat. Di samping itu,
timbulnya perkara-perkara baru yang relatif sedikit di Hijaz, tidak sampai
memaksa mereka untuk melakukan penggalian hukum (istinbath) secara lebih luas,
berbeda halnya dengan kondisi di Iraq.
Saat imam asy-Syafi’I muncul, antara kedua perguruan ini terjadi
perdebatan yang sengit, maka ia kemudian mengambil sikap menengah (baca:
moderat). Beliau berhasil melerai perdebatan fiqih yang terjadi antara kedua
perguruan tersebut berkat kemampuannya di dalam menggabungkan antara kedua manhaj
perguruan tersebut mengingat ia sempat berguru kepada tokoh utama dari
keduanya; dari perguruan Ahli Hadits, ia berguru dengan pendirinya, Imam Malik
dan dari perguruan Ahli Ra`yi, ia berguru dengan orang nomor dua yang tidak
lain adalah sahabat dan murid Imam Abu Hanifah, yaitu Muhammad bin al-Hasan
asy-Syaibany.
Imam asy-Syafi’i menyusun Ushul (pokok-pokok utama) yang dijadikan
acuan di dalam fiqihnya dan kaidah-kaidah yang dikomitmeninya di dalam
ijtihadnya pada risalah ushul fiqih yang berjudul ar-Risalah. Ushul tersebut ia
terapkan dalam fiqihnya. Ia merupakan Ushul amaliah bukan teoritis. Yang lebih
jelas lagi dapat dibaca pada kitabnya al-Umm di mana beliau menyebutkan hukum
berikut dalil-dalilnya, kemudian menjelaskan aspek pendalilan dengan dalil,
kaidah-kaidah ijtihad dan pokok-pokok penggalian dalil yang dipakai di dalam
menggalinya. Pertama, ia merujuk kepada al-Qur’an dan hal-hal yang nampak
baginya dari itu kecuali bila ada dalil lain yang mengharuskan pengalihannya
dari makna zhahirnya, kemudian setelah itu, ia merujuk kepada as-Sunnah bahkan
sampai pada penerimaan khabar Ahad yang diriwayatkan oleh periwayat tunggal
namun ia seorang yang Tsiqah (dapat dipercaya) pada diennya, dikenal sebagai
orang yang jujur dan tersohor dengan kuat hafalan. Asy-Syafi’i menilai bahwa
as-Sunnah dan al-Qur’an setaraf sehingga tidak mungkin melihat hanya pada
al-Qur’an saja tanpa melihat lagi pada as-Sunnah yang menjelaskannya. Al-Qur’an
membawa hukum-hukum yang bersifat umum dan kaidah Kulliyyah (bersifat menyeluruh)
sedangkan as-Sunnah lah yang menafsirkan hal itu. as-Sunnah pula lah yang
mengkhususkan makna umum pada al-Qur’an, mengikat makna Muthlaq-nya atau
menjelaskan makna globalnya.
Untuk berhujjah dengan as-Sunnah, asy-Syafi’i hanya mensyaratkan
bersambungnya sanad dan keshahihannya. Bila sudah seperti itu maka ia shahih
menurutnya dan menjadi hujjahnya. Ia tidak mensyaratkan harus tidak
bertentangan dengan amalan Ahli Madinah untuk menerima suatu hadits sebagaimana
yang disyaratkan gurunya, Imam Malik, atau hadits tersebut harus masyhur dan
periwayatnya tidak melakukan hal yang bertolak belakang dengannya.
Selama masa hidupnya, Imam asy-Syafi’i berada di garda terdepan
dalam membela as-Sunnah, menegakkan dalil atas keshahihan berhujjah dengan
hadits Ahad. Pembelaannya inilah yang merupakan faktor semakin melejitnya
popularitas dan kedudukannya di sisi Ahli Hadits sehingga mereka menjulukinya
sebagai Naashir as-Sunnah (Pembela as-Sunnah).
Barangkali faktor utama kenapa asy-Syafi’i lebih banyak berpegang
kepada hadits ketimbang Imam Abu Hanifah bahkan menerima hadits Ahad bilamana
syarat-syaratnya terpenuhi adalah karena ia hafal hadits dan amat memahami
‘illat-‘illat-nya di mana ia tidak menerima darinya kecuali yang memang valid
menurutnya. Bisa jadi hadits-hadits yang menurutnya shahih, menurut Abu Hanifah
dan para sahabatnya tidak demikian.
Setelah merujuk al-Qur’an dan as-Sunnah, asy-Syafi’i menjadikan
ijma’ sebagai dalil berikutnya bila menurutnya tidak ada yang bertentangan
dengannya, kemudian baru Qiyas tetapi dengan syarat terdapat asalnya dari
al-Qur’an dan as-Sunnah. Penggunaannya terhadap Qiyas tidak seluas yang
dilakukan Imam Abu Hanifah.
Aqidahnya
Di sini dikatakan bahwa ia seorang Salafy di mana ‘aqidahnya sama
dengan ‘aqidah para ulama Salaf; menetapkan apa yang ditetapkan Allah dan
Rasul-Nya dan menafikan apa yang dinafikan Allah dan Rasul-Nya tanpa melakukan
Tahrif (perubahan), Ta`wil (penafsiran yang menyimpang), Takyif (Pengadaptasian
alias mempertanyakan; bagaimana), Tamtsil (Penyerupaan) dan Ta’thil (Pembatalan
alias pendisfungsian asma dan sifat Allah).
Beliau, misalnya, mengimani bahwa Allah memiliki Asma` dan Sifat
sebagaimana yang dijelaskan Allah dalam kitab-Nya dan Rasulullah dalam
haditsnya, bahwa siapa pun makhluk Allah yang sudah ditegakkan hujjah atasnya,
al-Qur’an sudah turun mengenainya dan menurutnya hadits Rasulullah sudah shahih
karena diriwayatkan oleh periwayat yang adil; maka tidak ada alasan baginya
untuk menentangnya dan siapa yang menentang hal itu setelah hujjah sudah
benar-benar valid atasnya, maka ia kafir kepada Allah. Beliau juga menyatakan
bahwa bila sebelum validnya hujjah atas seseorang dari sisi hadits, maka ia
dapat ditolerir karena kejahilannya sebab ilmu mengenai hal itu tidak bisa
diraba hanya dengan akal, dirayah atau pun pemikiran.
Beliau juga mengimani bahwa Allah Ta’ala Maha Mendengar, memiliki
dua tangan, berada di atas ‘arasy-Nya dan sebagainya. Beliau juga menegaskan
bahwa iman adalah ucapan, perbuatan dan keyakinan dengan hati. (untuk lebih
jelasnya, silahkan merujuk buku Manaaqib asy-Syafi’i karangan Imam al-Baihaqi;
I’tiqaad al-A`immah al-Arba’ah karya Syaikh Dr.Muhammad ‘Abdurrahman al-Khumais
[sudah diterjemahkan –kurang lebih judulnya-: ‘Aqidah Empat Imam Madzhab oleh
KH.Musthafa Ya’qub])
Sya’ir-Sya’irnya
Imam asy-Syafi’i dikenal sebagai salah seorang dari empat imam
madzhab tetapi tidak banyak yang tahu bahwa ia juga seorang penyair. Beliau
seorang yang fasih lisannya, amat menyentuh kata-katanya, menjadi hujjah di
dalam bahasa ‘Arab. Hal ini dapat dimengerti, karena sejak dini, beliau sudah
tinggal dan berinteraksi dengan suku Hudzail yang merupakan suku arab paling
fasih kala itu. Beliau mempelajari semua sya’ir-sya’ir mereka, karena itu ia
dianggap sebagai salah satu rujukan bagi para ahli bahasa semasanya, di
antaranya diakui sendiri oleh seorang tokoh sastra Arab semasanya, al-Ashmu’i
sebagaimana telah disinggung sebelumnya.
Imam Ahmad berkata, “asy-Syafi’i adalah orang yang paling fasih.”
Imam Malik terkagum-kagum dengan bacaannya karena demikian fasih. Karena itu,
pantas bila Imam Ahmad pernah berkata, “Tidak seorang pun yang menyentuh tinta
atau pun pena melainkan di pundaknya ada jasa asy-Syafi’i.” Ayyub bin Suwaid
berkata, “Ambillah bahasa dari asy-Syafi’i.”
Hampir semua isi sya’ir yang dirangkai Imam asy-Syafi’i bertemakan
perenungan. Sedangkan karakteristik khusus sya’irnya adalah sya’ir klasik.
Alhasil, ia mirip dengan perumpamaan-perumpamaan atau hikmah-hikmah yang
berlaku di tengah manusia.
Di antara contohnya,
- Sya’ir Zuhud
Hendaknya engkau bertakwa kepada Allah jika engkau lalai
Pasti Dia membawa rizki tanpa engkau sadari
Bagaimana engkau takut miskin padahal Allah Sang Pemberi rizki
Dia telah memberi rizki burung dan ikan hiu di laut
Siapa yang mengira rizki hanya didapat dengan kekuatan
Semestinya burung pipit tidak dapat makan karena takut pada elang
Turun dari dunia (mati), tidak engkau tahu kapan
Bila sudah malam, apakah engkau akan hidup hingga fajar?
Berapa banyak orang yang segar-bugar mati tanpa sakit
Dan berapa banyak orang yang sakit hidup sekian tahunan?
- Sya’ir Akhaq
Kala mema’afkan, aku tidak iri pada siapa pun
Aku tenangkan jiwaku dari keinginan bermusuhan
Sesungguhnya aku ucapkan selamat pada musuhku saat melihatnya
Agar dapat menangkal kejahatannya dengan ucapan-ucapan selamat
tersebut
Manusia yang paling nampak bagi seseorang adalah yang paling
dibencinya
Sebagaimana rasa cinta telah menyumbat hatiku
Manusia itu penyakit dan penyakit manusia adalah kedekatan dengan
mereka
Namun mengasingkan mereka adalah pula memutus kasih sayang
Tawadlu’, Wara’ Dan ‘ibadahnya
Imam asy-Syafi’i terkenal dengan ketawadlu’an (kerendahan diri)-nya
dan ketundukannya pada kebenaran. Hal ini dibuktikan dengan pengajiannya dan
pergaulannya dengan teman sejawat, murid-murid dan orang-orang lain. Demikian
juga, para ulama dari kalangan ahli fiqih, ushul, hadits dan bahasa sepakat
atas keamanahan, keadilan, kezuhudan, kewara’an, ketakwaan dan ketinggian
martabatnya.
Sekali pun demikian agungnya beliau dari sisi ilmu, ahli debat,
amanah dan hanya mencari kebenaran, namun hal itu semua bukan karena ingin
dipandang dan tersohor. Karena itu, masih terduplikasi dalam memori sejarah
ucapannya yang amat masyhur, “Tidaklah aku berdebat dengan seseorang melainkan
aku tidak peduli apakah Allah menjelaskan kebenaran atas lisannya atau
lisanku.”
Sampai-sampai saking hormatnya Imam Ahmad kepada gurunya,
asy-Syafi’i ini; ketika ia ditanya oleh anaknya tentang gurunya tersebut, “Siapa
sih asy-Syafi’i itu hingga ayahanda memperbanyak doa untuknya?” ia menjawab,
“Imam asy-Syafi’i ibarat matahari bagi siang hari dan ibarat kesehatan bagi
manusia; maka lihat, apakah bagi keduanya ini ada penggantinya.?”
Imam asy-Syafi’i seorang yang faqih bagi dirinya, banyak akalnya,
benar pandangan dan fikirnya, ahli ibadah dan dzikir. Beliau amat mencintai
ilmu, sampai-sampai ia berkata, “Menuntut ilmu lebih afdlal daripada shalat
sunnat.”
Sekali pun demikian, ar-Rabi’ bin Sualaiman, muridnya meriwayatkan
bahwasanya ia selalu shalat malam hingga wafat dan setiap malam satu kali
khatam al-Qur’an. Ad-Dzahabi di dalam kitabnya Siyar an-Nubalaa` meriwayatkan
dari ar-Rabi’ bin Sulaiman yang berkata, “Imam asy-Syafi’i membagi-bagi
malamnya; sepertiga pertama untuk menulis, sepertiga kedua untuk shalat dan
sepertiga ketiga untuk tidur.”
Menambahi ucapan ar-Rabi’ tersebut, Adz-Dzahabi berkata, “Tentunya,
ketiga pekerjaan itu hendaknya dilakukan dengan niat.” Ya, Imam adz-Dzahabi
benar sebab niat merupakan ciri kelakuan para ulama. Bila ilmu membuahkan
perbuatan, maka ia akan meletakkan pelakunya di atas jalan keselamatan.
Imam asy-Syafi’i tetap tinggal di Mesir dan tidak pergi lagi dari
sana. Beliau mengisi pengajian yang dikerubuti oleh para muridnya hingga beliau
menemui Rabbnya pada tanggal 30 Rajab tahun 204 H.
IMAM HAMBALI
Nama
dan Nasabnya
Ahmad bin Hanbal (781 - 855 M, 164 - 241 AH) (Arab أحمد بن
حنبل ) adalah seorang ahli hadits dan teologi Islam. Ia lahir di Marw (saat ini
bernama Mary di Turkmenistan, utara Afganistan dan utara Iran) di kota Baghdad, Irak. Kunyahnya Abu Abdillah
lengkapnya: Ahmad bin Muhammad bin Hambal bin Hilal bin Asad Al Marwazi Al
Baghdadi/ Ahmad bin Muhammad bin Hanbal dikenal juga sebagai Imam
Hambali.
Awal mula Menuntut Ilmu
Ilmu yang pertama kali dikuasai adalah Al
Qur'an hingga ia hafal pada usia 15 tahun, ia juga mahir baca-tulis dengan
sempurna hingga dikenal sebagai orang yang terindah tulisannya. Lalu, ia mulai
konsentrasi belajar ilmu hadits di awal umur 15 tahun itu pula. Ia telah
mempelajari Hadits sejak kecil dan untuk mempelajari Hadits ini ia pernah
pindah atau merantau ke Syam (Syiria), Hijaz, Yaman dan negara-negara lainnya sehingga ia
akhirnya menjadi tokoh ulama yang bertakwa, saleh, dan zuhud. Abu Zur'ah mengatakan bahwa kitabnya yang sebanyak 12
buah sudah dihafalnya di luar kepala. Ia menghafal sampai sejuta hadits. Imam Syafi'i mengatakan tetang diri Imam Ahmad sebagai
berikut:
"Setelah saya keluar dari Baghdad, tidak ada
orang yang saya tinggalkan di sana yang lebih terpuji, lebih shaleh dan yang
lebih berilmu daripada Ahmad bin Hambal"
Abdur Rozzaq Bin Hammam yang juga salah seorang guru beliau pernah
berkata,
"Saya tidak pernah melihat orang se-faqih dan
se-wara' Ahmad Bin Hanbal"
Keadaan fisik
Muhammad bin ‘Abbas An-Nahwi bercerita, Saya
pernah melihat Imam Ahmad bin Hambal, ternyata Badan beliau tidak terlalu
tinggi juga tidak terlalu pendek, wajahnya tampan, di jenggotnya masih ada yang
hitam. Ia senang berpakaian tebal, berwarna putih dan bersorban serta memakai
kain. Yang lain mengatakan, “Kulitnya berwarna coklat (sawo matang)”
Keluarga
Beliau menikah pada umur 40 tahun dan
mendapatkan keberkahan yang melimpah. Ia melahirkan dari istri-istrinya
anak-anak yang shalih, yang mewarisi ilmunya, seperti Abdullah dan Shalih.
Bahkan keduanya sangat banyak meriwayatkan ilmu dari bapaknya.
Kecerdasan
Putranya yang bernama Shalih mengatakan,
Ayahku pernah bercerita, “Husyaim meninggal dunia saat saya berusia dua puluh
tahun, kala itu saya telah hafal apa yang kudengar darinya”. Abdullah, putranya
yang lain mengatakan, Ayahku pernah menyuruhku, “Ambillah kitab mushannaf Waki’
mana saja yang kamu kehendaki, lalu tanyakanlah yang kamu mau tentang matan
nanti kuberitahu sanadnya, atau sebaliknya, kamu tanya tentang sanadnya nanti
kuberitahu matannya”.
Abu Zur’ah pernah ditanya, “Wahai Abu Zur’ah,
siapakah yang lebih kuat hafalannya? Anda atau Imam Ahmad bin Hambal?” Beliau
menjawab, “Ahmad”. Ia masih ditanya, “Bagaimana Anda tahu?” beliau menjawab,
“Saya mendapati di bagian depan kitabnya tidak tercantum nama-nama perawi,
karena beliau hafal nama-nama perawi tersebut, sedangkan saya tidak mampu
melakukannya”. Abu Zur’ah mengatakan, “Imam Ahmad bin Hambal hafal satu juta
hadits”.
Pujian Ulama
Abu Ja’far mengatakan, “Ahmad bin Hambal
manusia yang sangat pemalu, sangat mulia dan sangat baik pergaulannya serta
adabnya, banyak berfikir, tidak terdengar darinya kecuali mudzakarah hadits dan
menyebut orang-orang shalih dengan penuh hormat dan tenang serta dengan
ungkapan yang indah. Bila berjumpa dengan manusia, maka ia sangat ceria dan
menghadapkan wajahnya kepadanya. Ia sangat rendah hati terhadap guru-gurunya
serta menghormatinya”. Imam Asy-Syafi’i berkata, “Ahmad bin Hambal imam dalam
delapan hal, Imam dalam hadits, Imam dalam Fiqih, Imam dalam bahasa, Imam dalam
Al Qur’an, Imam dalam kefaqiran, Imam dalam kezuhudan, Imam dalam wara’ dan
Imam dalam Sunnah”. Ibrahim Al Harbi memujinya, “Saya melihat Abu Abdillah
Ahmad bin Hambal seolah Allah gabungkan padanya ilmu orang-orang terdahulu dan
orang-orang belakangan dari berbagai disiplin ilmu”.
Kezuhudannya
Beliau memakai peci yang dijahit sendiri. Dan
kadang beliau keluar ke tempat kerja membawa kampak untuk bekerja dengan
tangannya. Kadang juga beliau pergi ke warung membeli seikat kayu bakar dan
barang lainnya lalu membawa dengan tangannya sendiri. Al Maimuni pernah
berujar, “Rumah Abu Abdillah Ahmad bin Hambal sempit dan kecil”.
Wara’ dan menjaga harga diri
Abu Isma’il At-Tirmidzi mengatakan, “Datang
seorang lelaki membawa uang sebanyak sepuluh ribu (dirham) untuk beliau, namun
beliau menolaknya”. Ada juga yang mengatakan, “Ada seseorang memberikan lima
ratus dinar kepada Imam Ahmad namun beliau tidak mau menerimanya”. Juga pernah
ada yang memberi tiga ribu dinar, namun beliau juga tidak mau menerimanya.
Tawadhu’ dengan kebaikannya
Yahya bin Ma’in berkata, “Saya tidak pernah
melihat orang yang seperti Imam Ahmad bin Hambal, saya berteman dengannya
selama lima puluh tahun dan tidak pernah menjumpai dia membanggakan sedikitpun
kebaikan yang ada padanya kepada kami”. Beliau (Imam Ahmad) mengatakan, “Saya
ingin bersembunyi di lembah Makkah hingga saya tidak dikenal, saya diuji dengan
popularitas”. Al Marrudzi berkata, “Saya belum pernah melihat orang fakir di
suatu majlis yang lebih mulia kecuali di majlis Imam Ahmad, beliau perhatian
terhadap orang fakir dan agak kurang perhatiannya terhadap ahli dunia (orang
kaya), beliau bijak dan tidak tergesa-gesa terhadap orang fakir. Ia sangat
rendah hati, begitu tinggi ketenangannya dan sangat memuka kharismanya”. Beliau
pernah bermuka masam karena ada seseorang yang memujinya dengan mengatakan,
“Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan atas jasamu kepada Islam?” beliau mengatakan,
“Jangan begitu tetapi katakanlah, semoga Allah membalas kebaikan terhadap Islam
atas jasanya kepadaku, siapa saya dan apa (jasa) saya?!”
Sabar dalam menuntut ilmu
Tatkala beliau pulang dari tempat Abdurrazzaq
yang berada di Yaman, ada seseorang yang melihatnya di Makkah dalam keadaan
sangat letih dan capai. Lalu ia mengajak bicara, maka Imam Ahmad mengatakan,
“Ini lebih ringan dibandingkan faidah yang saya dapatkan dari Abdirrazzak”.
Hati-hati dalam berfatwa
Zakariya bin Yahya pernah bertanya kepada beliau,
“Berapa hadits yang harus dikuasai oleh seseorang hingga bisa menjadi mufti?
Apakah cukup seratus ribu hadits? Beliau menjawab, “Tidak cukup”. Hingga
akhirnya ia berkata, “Apakah cukup lima ratus ribu hadits?” beliau menjawab.
“Saya harap demikian”.
Kelurusan aqidahnya sebagai standar kebenaran
Ahmad bin Ibrahim Ad-Dauruqi mengatakan,
“Siapa saja yang kamu ketahui mencela Imam Ahmad maka ragukanlah agamanya”.
Sufyan bin Waki’ juga berkata, “Ahmad di sisi kami adalah cobaan, barangsiapa
mencela beliau maka dia adalah orang fasik”.
Masa Fitnah
Pemahaman Jahmiyyah belum berani
terang-terangan pada masa khilafah Al Mahdi, Ar-Rasyid dan Al Amin, bahkan
Ar-Rasyid pernah mengancam akan membunuh Bisyr bin Ghiyats Al Marisi yang
mengatakan bahwa Al Qur’an adalah makhluq. Namun dia terus bersembunyi pada
masa khilafah Ar-Rasyid, baru setelah beliau wafat, dia menampakkan
kebid’ahannya dan menyeru manusia kepada kesesatan ini.
Di masa khilafah Al Ma’mun, orang-orang
jahmiyyah berhasil menjadikan paham jahmiyyah sebagai ajaran resmi negara, di
antara ajarannya adalah menyatakan bahwa Al Qur’an makhluk. Lalu penguasa pun
memaksa seluruh rakyatnya untuk mengatakan bahwa Al Qur’an makhluk, terutama
para ulamanya. Barangsiapa mau menuruti dan tunduk kepada ajaran ini, maka dia
selamat dari siksaan dan penderitaan. Bagi yang menolak dan bersikukuh dengan
mengatakan bahwa Al Qur’an Kalamullah bukan makhluk maka dia akan mencicipi
cambukan dan pukulan serta kurungan penjara.
Karena beratnya siksaan dan parahnya
penderitaan banyak ulama yang tidak kuat menahannya yang akhirnya mengucapkan
apa yang dituntut oleh penguasa zhalim meski cuma dalam lisan saja. Banyak yang
membisiki Imam Ahmad bin Hambal untuk menyembunyikan keyakinannya agar selamat
dari segala siksaan dan penderitaan, namun beliau menjawab, “Bagaimana kalian
menyikapi hadits “Sesungguhnya orang-orang sebelum Khabbab, yaitu sabda Nabi
Muhammad ada yang digergaji kepalanya namun tidak membuatnya berpaling dari
agamanya”. HR. Bukhari 12/281. lalu beliau menegaskan, “Saya tidak peduli
dengan kurungan penjara, penjara dan rumahku sama saja”.
Ketegaran dan ketabahan beliau dalam
menghadapi cobaan yang menderanya digambarkan oleh Ishaq bin Ibrahim, “Saya
belum pernah melihat seorang yang masuk ke penguasa lebih tegar dari Imam Ahmad
bin Hambal, kami saat itu di mata penguasa hanya seperti lalat”.
Di saat menghadapi terpaan fitnah yang sangat
dahsyat dan deraan siksaan yang luar biasa, beliau masih berpikir jernih dan
tidak emosi, tetap mengambil pelajaran meski datang dari orang yang lebih
rendah ilmunya. Ia mengatakan, “Semenjak terjadinya fitnah saya belum pernah
mendengar suatu kalimat yang lebih mengesankan dari kalimat yang diucapkan oleh
seorang Arab Badui kepadaku, “Wahai Ahmad, jika anda terbunuh karena kebenaran maka
anda mati syahid, dan jika anda selamat maka anda hidup mulia”. Maka hatiku
bertambah kuat”.
Ahli hadits sekaligus juga Ahli Fiqih
Ibnu ‘Aqil berkata, “Saya pernah mendengar
hal yang sangat aneh dari orang-orang bodoh yang mengatakan, “Ahmad bukan ahli
fiqih, tetapi hanya ahli hadits saja. Ini adalah puncaknya kebodohan, karena
Imam Ahmad memiliki pendapat-pendapat yang didasarkan pada hadits yang tidak
diketahui oleh kebanyakan manusia, bahkan beliau lebih unggul dari seniornya”.
Bahkan Imam Adz-Dzahabi berkata, “Demi Allah,
beliau dalam fiqih sampai derajat Laits, Malik dan Asy-Syafi’i serta Abu Yusuf.
Dalam zuhud dan wara’ beliau menyamai Fudhail dan Ibrahim bin Adham, dalam
hafalan beliau setara dengan Syu’bah, Yahya Al Qaththan dan Ibnul Madini. Tetapi
orang bodoh tidak mengetahui kadar dirinya, bagaimana mungkin dia mengetahui
kadar orang lain!!
Guru
Imam Ahmad bin Hambal berguru kepada banyak
ulama, jumlahnya lebih dari dua ratus delapan puluh yang tersebar di berbagai
negeri, seperti di Makkah, Kufah, Bashrah, Baghdad, Yaman dan negeri lainnya.
Di antara mereka adalah:
5. Imam Syafi'i
9. Abdurrazaq
Murid-murid Ahmad bin Hanbal
Umumnya ahli hadits pernah belajar kepada
imam Ahmad bin Hambal, dan belajar kepadanya juga ulama yang pernah menjadi
gurunya, yang paling menonjol adalah:
1.
Imam
Bukhari
2.
Muslim
3.
Abu Daud
4.
Nasai
5.
Tirmidzi
6.
Ibnu
Majah
Kewafatan Ahmad bin Hanbal
Setelah sakit sembilan hari, beliau
Rahimahullah menghembuskan napas terakhirnya di pagi hari Jum’at bertepatan
dengan tanggal dua belas Rabi’ul Awwal 241 H pada umur 77 tahun. Jenazah beliau
dihadiri delapan ratus ribu pelayat lelaki dan enam puluh ribu pelayat perempuan.
Karya tulis
Ahmad bin Hanbal menulis kitab al-Musnad al-Kabir yang termasuk sebesar-besarnya kitab
"Musnad" dan sebaik baik karangan beliau dan sebaik baik penelitian
Hadits. Ia tidak memasukkan dalam kitabnya selain yang dibutuhkan sebagai
hujjah. Kitab Musnad ini berisi lebih dari 25.000 hadits.
Di antara karya Imam Ahmad adalah
ensiklopedia hadits atau Musnad, disusun oleh anaknya dari ceramah
(kajian-kajian) - kumpulan lebih dari 40 ribu hadits juga Kitab ash-Salat dan
Kitab as-Sunnah.
Karya-Karya Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah
1. Kitab Al Musnad, karya yang paling
menakjubkan karena kitab ini memuat lebih dari dua puluh tujuh ribu hadits
2. Kitab at-Tafsir, namun Adz-Dzahabi
mengatakan, “Kitab ini hilang”.
3. Kitab an-Nasikh wa al-Mansukh
4. Kitab at-Tarikh
5. Kitab Hadits Syu'bah
6. Kitab al-Muqaddam wa al-Mu'akkhar
fi al-Qur`an
7. Kitab Jawabah al-Qur`an
IMAM HANAFI
Nama, Kelahiran dan Latar
Belakang Pendidikannya
Nama lengkap
Abu Hanifah adalah Abu Hanifah al –Nu’man bin Tsabit Ibn Zutha al –Taimiy, tapi
ia lebih dikenal dengan sebutan Abu Hanifah. Ayahnya adalah keturunan bangsa
Persia ( Kabul / Afganistan ) yang sudah menetap di Kufah, sehingga beliaupun
dilahirkan di kota Kufah pada tahun 80 H /699 M dan wafat di Bagdad pada tahun
150 H /767 M, yakni di masa akhir dinasti Umayyah di bawah kepemimpinan Abdul
Malik bin Marwan raja bani Umayyah ke-5 dan masa awal dinasti Abbasiyah.
Beliau diberi gelar Abu Hanifah karena diantara putranya ada yang bernama Hanifah. Menurut kebiasaan, nama anak menjadi nama panggilan bagi ayahnya dengan memakai kata Abu ( bapak / ayah ), sehingga ia dikenal dengan sebutan Abu Hanifah. Ada lagi satu riwayat yang mengatakan, beliau bergelar Abu Hanifah karena begitu taatnya beribadah kepada Allah, yaitu berasal dari bahasa Arab Haniif yang berarti condong atau cenderung pada yang benar. Akan tetapi, menurut Yusuf Musa, ia disebut Abu Hanifah karena ia selalu berteman dengan “tinta” (dawat ), dan kata haniif menurut bahasa Arab berarti “tinta”. Abu Hanifah senantiasa membawa tinta guna menulis dan mencatat ilmu pengetahuan yang diperoleh dari teman-teman dan gurunya.
Beliau diberi gelar Abu Hanifah karena diantara putranya ada yang bernama Hanifah. Menurut kebiasaan, nama anak menjadi nama panggilan bagi ayahnya dengan memakai kata Abu ( bapak / ayah ), sehingga ia dikenal dengan sebutan Abu Hanifah. Ada lagi satu riwayat yang mengatakan, beliau bergelar Abu Hanifah karena begitu taatnya beribadah kepada Allah, yaitu berasal dari bahasa Arab Haniif yang berarti condong atau cenderung pada yang benar. Akan tetapi, menurut Yusuf Musa, ia disebut Abu Hanifah karena ia selalu berteman dengan “tinta” (dawat ), dan kata haniif menurut bahasa Arab berarti “tinta”. Abu Hanifah senantiasa membawa tinta guna menulis dan mencatat ilmu pengetahuan yang diperoleh dari teman-teman dan gurunya.
Pada mulanya
Abu Hanifah gemar mempelajari ilmu qira’at, hadits, nahwu dan ilmu agama
lainnya yang berkembang pada masa itu, bahkan iapun mempelajari teologi ( ilmu
kalam ), sehingga ia menjadi salah seorang terpandang dalam ilmu tersebut.
Karena ketajaman pemikirannya ia sanggup untuk menangkis serangan golongan
khawarij yang doktrin ajarannya sangat ekstrim.
Pada waktu
itu kota Kufah merupakan pusat pertemuan ulama ilmu fiqh yang cenderung
rasional, sehingga iapun menekuninya. Di kota ini terdapat madrasah Kufah yang
dirintis oleh Abdullah Ibn Mas’ud ( wafat 63 H / 682 M ). Kemudian berlanjut di
bawah kepemimpinan Ibrahim al –Nakha’i lalu Hammad bin Sulaiman al –Asy’ari (
wafat 120 ).Dan dari Imam Hammad inilah Abu Hanifah belajar fiqh dan hadits.
Imam Hammad sering mewakilkan kepada beliau dalam mengajarkan agama dan memberi
fatwa. Kepercayaan ini diberikan karena keluasan wawasan dan pandangan beliau
dalam mengupas masalah fiqh.
Abu Hanifah
adalah seorang yang mempunyai kecerdasan yang tinggi dan wawasan yang luas
tentang ilmu agama, sehingga sangatlah tidak heran jika banyak kalangan yang
memujinya dan mengakuinya. Hal ini bisa dilihat dari pernyatan dan pengakuan
para ilmuan lainnya. Imam Ibn al – Mubarak mengatakan : “ aku belum pernah
melihat seorang laki-laki lebih cerdik dan pandai dari pada Imam Abu Hanifah.”
Imam Ali bin Ashimpun berkata : “ jika sekitranya ditimbang akal Abu
Hanifah dengan akal penduduk kota ini, tentu akal mereka itu dapat dikalahkan”.
Seorang raja, Harun ar –Rasyid kala itu juga menyatakan : “ Abu Hanifah adalah
seorang yang dapat melihat dengan akalnya pada barang apa yang tidak dapat ia
lihat dengan mata kepalanya”.
Imam Malik
pernah ditanya oleh seseorang :” pernahkah anda melihat Abu Hanifah? Ya, saya
melihatnya, ia adalah seorang laki-laki, jika anda bertanya tentang tiang ini
supaya ia jadikan emas, niscaya dia akan memberikan alasan-alasannya”. Bahkan
Imam Syafi’i pernah menyatakan :” manusia seluruhnya adalah keluarga dalam ilmu
fiqh dan menjadi anak buah Imam Abu Hanifah”.
Pengakuan
dan pernyataan yang disampaikan oleh Imam Malik dan Imam Syafi’i cukuplah
membuktikan betapa luasnya pandangan dalam mengulas hukum-hukum islam. Bahkan
tidak hanya dalam masalah fiqh, tentang haditspun beliau juga mempunyai
kepandaian dan kecerdasan. Menurut Imam Abu Yusuf sahabatnya Imam Syafi’i:”saya
belum pernah melihat orang yang lebih mengerti tentang hadits dan tafsirnya
selain dari pada Abu Hanifah, ia tahu akan illat-illat hadits, mengerti tentang
ta’dil dan tarjih, mengerti tentang tingkatan hadits yang sah atau tidak.
Dari sekian
banyak riwayat yang menerangkan tentang kealiman, kebesaran dan kemuliannya
tersebut, maka dapatlah disimpulkan bahwa beliau adalah orang yang sangat
berjasa bagi islam dan umatnya. Beliau juga seorang pilihan yang telah lulus
dalam menempuh berbagai ujian berat, menderita dan sakit di dalam penjara
sampai akhirnya beliau wafat tahun 150 H (576 M ) pada usia 70 tahun dan
dimakamkan di pekuburan khizra, dan pada saat itu lahirlah Imam Syafi’i.
Sepeninggal
beliau, pada tahun 450 H / 1066 M didirikanlah sebuah sekolah yang diberi nama
jami’ Abu Hanifah. Ajaran dan ilmunya tetap tersebar melalui murid-muridnya
yang cukup banyak. Diantara meridnya yang terkenal adalah Abu Yusuf, Abdullah
bin Mubarak, waki’ bin jarah Ibn Hasan al- Syaibah dan lain-lain.
Karya-karya Imam Abu
Hanifah
Sepanjang
hidupnya, Imam Abu Hanifah banyak mengajarkan berbagai ilmu kepada murid-muridnya,
baik ilmu fiqh, ilmu kalam ataupun yang lainnya. Ini dikarenakan beliau adalah
seorang yang mempunyai kepandaian dan kecerdasan yang luar biasa pada zamannya.
Diantara para ulama terkenal yang memnjadi sahabat beliau dan berjasa dalam pengkodifikasian fatwa-fatwa beliau adalah :
Diantara para ulama terkenal yang memnjadi sahabat beliau dan berjasa dalam pengkodifikasian fatwa-fatwa beliau adalah :
Abu Yusuf
Ya’kub ibn Ibrahin al- Anshary ( 113-182 h )
Muhammad ibn
Hasan al- Syaibany ( 132-189 H )
Zufar ibn
Huzailibn al- Kufy ( 110-158 H )
al- Hasan
ibn Ziyad al- Lu’lu’iy ( 133-204 H ).
Pada saat
beliau masih hidup,fatwa-fatwa dan hasil ijtihad beliau belum dikodifikasikan,
setelah beliau meninggal, barulah buah pikirannya itu dikodifikasikan oleh
murid-murid dan para sahabatnya sehinggah menjadi mazhab ahli ra’yi yang hidup
dan berkembang. Sebagian dari para muridnya , pada masalah hukum keagamaan ada
yang menyalahi, ada yang berlawanan dan ada pula yang berbeda pendapat atas
buah fikiran beliau, tetapi sebagian besar mereka itu telah menyepakati dan
sesuai dengan jalan yang ditempuh oleh beliau.
Dalam melakukan
pengkodifikasian perkataan-perkataan dan buah fikiran Imam Abu Hanifah tentang
masalah-masalah hukum keagamaan, para sahabat beliau mencampurnya dengan
perkataan-perkataan atau pendapat mereka masing-masing dengan pendapat Imam
Hanafi. Karena aliran beliau itulah yang asli, sehinggah hal-hal yang menyalahi
dengan pendapat atau berlawanan dengan perkataan beliau adalah sedikit sekali.
Dari keempat
sahabat dan murid beliau yang banyak menyusun buah fikiran Abu Hanifah adalah
Muhammad al- Syaibany yang terkenal dengan ” al-Kutub al- Sittah ” ( enam kitab
yaitu:
1.
Kitab al - Mabsuth
2.
Kitab al – Ziyadat
3.
Kitab al – Jami’ al – Shaghir
4.
Kitab al – Jami’ al – Kabir
5.
Kitab al – Sair al – shaghir
6.
Kitab al – Sair al – Kabir
Kitab al –
Mabsuth adalah kitab terpanjang yang dihimpun dan disusun oleh Imam Muhammad
ibn Hasan, yang di dalamnya berisi beribu-ribu masalah keagamaan yang dipegang
atau ditetapkan oleh Imam Hanafi. Di dalamnya juga berisikan tentang
perselisihan pendapat antara Imam Hanafi Imam ibnu Abi Laila.
Kitab al-
Jami’ al – Shaghir, kitab ini berisi beberapa masalah yang diriwayatkan
dari Imam Isa ibn Abban dan Imam Muhammad ibn Sima’ah, keduanya adalah murid
Imam Muhammad ibn Hasan. Kitab ini berisi 40 fasal dari fasal-fasal fiqh yang
permulaannya adalah fasal ”Ash- Shalah”. Tetapi dalam kitab ini tidak diberi
bab-bab fasalnya, Oleh karena itu, dikemudian hari disusun dan diatur perbab
oleh al- Qadhi Abuth-Thahir,Muhammad ibn Muhammad ad- Dabbas untuk memudahkan
bagi yang hendak mempelajarinya.
Kitab al-
Jami’ al- Kabir berisikan sebagaiman kitab yang kedua, hanya saja lebih panjang
uraiannya. Kitab al- Sair al- Shagir yang berisikan masalah – masalah jihad
semata. Sedang al- Sair al-Kabir berisikan masalah-masalah fiqh juga. Sepanjang
riwayat bahwa Imam Abu Hanifah adalah seorang yang mula-mula merencanakan ilmu
fiqh, mengatur dan menyusunnya dengan dibab-bab – sefasal demi sefasal – untuk
memudahkan orang yang mempelajarinya. Karena di masa para sahabat dan tabi’in
fiqh itu belumlah dihimpun dan disusun. Beliau mengkhawatirkan akan hilangnya
ilmu pengetahuan itu, sehingga beliau merencanaka, mengatur dan menyusun
menjadi beberapa kitab dan bab. Sehingga tidaklah mengherankan jika Imam
Syafi’I menyatakan ” bahwa para ahli fiqh itu menjadi anak
asuh dari Imam Abu Hanifah”.
Metode istimbat yang
digunakan mazhab Hanafi
Imam Abu
Hanifah adalah ulama yang terkenal menggunakan rasio dalam ijtihad-ijtihadnya,
sehinggah ia dikenal dengan ahl al- Ra’yu. Ia hidup selama 52 tahun pada masa
dinasti umayyah dan 18 tahun pada masa dinasti Abbasiyah. Pada masa hidupnya,
ia sempat menyaksikan tragedi – tragedi besar di Kufah. Di satu sisi Kufah
memberikan makna dalam kehidupannya sehingga menjadi seorang ulama besar al
–Imam al –A’zam. Tapi disisi lain, beliau merasakan kota Kufah sebagai kota
yang diwarnai dengan pertentangan politik. Kota Kufah dan Bashra di Irak memang
melahirkan banyak ilmuan dalam berbagai bidang seperti ilmu sastra, teologi,
tafsir, hadits dan tasawuf.
Intelektualitas
Abu Hanifah diwarnai oleh kedua kota bersejarah tersebut. Di tengah
berlangsungnya proses transformasi sosio-kultural, politik dan pertarungan
tradisional antara suku Arab utara, Arab selatan serta Persi. Oleh karena itu,
pola pikir Imam Abu Hanifah dalam menetapka hukum sudah tentu sangat
dipengaruhi latar belakang kehidupan serta pendidikannya, juga tidak terlepas
dari sumber hukum yang ada.
Imam Abu
Hanifah dikenal sebagai ulama ahl al –Ra’yu ( ahli rasional )dalam menetapkan
hukum islam, baik yang dinisbathkan dari al –Qur’an ataupun al –Hadts. Beliau
banyak menggunakan nalar, mengutamakan ra’yu dari pada khabar ahad. Apabila
terdapat hadits yang bertentangan, beliaau menetapka hukum dengan qiyas dan
istihsan. Beliau mengajak kepada kebebasan berfikir dalam memecahkan masalah-msalah
baru yang belum terdapat dalam al- Qur’an dan sunnah, dan menganjurkan
pembahasan persoalan dengan bebas merdeka. Ia banyak mengandalkan qiyas(
analogi ), istihsan dan istishab dalam menetapkan hukum.
Cara ini
menjadi cirri umum mazhabnya, sehingga ia sering disebut sebagai “ ahl
al- Ra’yu”. Salah satu alasan mengapa Abu Hanifah banyak menggunakan akal dalam
menentukan hukum adalah kurangnya hadits yang tersebar di Irak kala itu,
keadaan yang menuntut beliau untuk banyak berfikir dalam menentukan hukum.
Tentang cara beliau menetapkan hukum dari suatu permasalahn diungkapkannya sendiri sebagai berikut :
Tentang cara beliau menetapkan hukum dari suatu permasalahn diungkapkannya sendiri sebagai berikut :
“ Saya
mengambil hukum dari al- Qur’an, jika saya tidak mendapatkannya dari al-
Qur’an, maka saya bersandar kepada sabda –sabda rosul yang shohih dan yang
terdapat dikalangan orang-orang yang bisa dipercaya. Bila dalam al-Qur’an dan
Hadits tidak saya temukan sesuatupun, maka saya beralih kepada keterangan para
sahabat. Saya mengambil mana yang saya kehendaki dan meninggalkan mana yang
saya kehendaki. Setelah berpijak pada pendapat para sahabat, saya menengok pada
pendapat orang-orang lain. Jika telah sampai pada pendapat Ibrahim al-Syuba’i,
Hasan Basri, Ibnu Sirin, Sa’ad bin Musayyab – sambil beliau mengemukakan
beberapa nama ulama besar dari para mujtahid, maka akupun berhak melakukan
ijtihad sebagaimana yang mereka lakukan.
Sahal bin
Muzahim pernah menyatakan :“ pendapat Abu Hanifah berpegang kepada apa yang
dipercaya, menjauhkan dari keburukun, suka memperhatikan adat istiadat dan hal
ikhwal orang banyak, apa yang dianggap baik dan buruk oleh mereka. Imam Hanafi
memecahkan berbagai problematika dengan jalan qiyas, apabila jalan itu terasa
kurang tepat, maka beliau menempuh jalan istihsan selama jalan ini dapat
ditempuh. Jika metode inipun tidak dapat ditempuh, maka beliau mengembalikan
urusan itu kepada apa yang dilakukan oleh kaum muslimin.
Secara
hierarkis pokok-pokok pikiran mazhab Hanafi adalah:
1.
Al- Kitab (al-Qur’anul Karim),
adalah pilar utama syari’at, semua hukum kembali kepadanya dan Ia sumber dari
segala sumber hukum.
2.
Al- sunnah Rasullah SAW dan
atsar-atsar yang shahih serta telah masyhur ( tersiar )diantara para ulama yang
ahli, dan merupakan penjelasan dari al- Qur’an dan perinci dari yang mujmal (
global ).Siapa yang tidak mau berpegang pada al Sunnah tersebut, berarti ia
tidak mengakui kebenaran risalah Allah yang disampaikan melalui RosulNya.
3.
Al-Aqwal al-Sahabah ( fatwa-fatwa dari para
sahabat ), pendapat atau ucapan-ucapan dari para sahabat di mana mereka
menyaksikan masa turunnya al- Qur’an serta mengetahui keserasian antara
ayat-ayat al-Qur’an dan hadits serta pewaris ilmu dari Nabi SAW untuk generasi
berikutnya.
4.
Al-Qiyas, apabila ternyata dalam
suatu permasalahan tidak ditemukan dasar hukumnya, baik itu dalam al- Qur’an,
al- Sunnah maupun perkataan sahabat, maka beliau menggunakan al-Qiyas, yaitu
menghubungkan sesuatu yang belum ada hukumnya kepada kepada nash yang ada
setelah memperhatikan illat yang sama diantara keduanya.
5.
Al- Istihsan, keluar atau
menyimpang dari keharusan logika analogi ( qiyas ) yang tanpa nyata menuju
kepada hukum lain yang menyalahinya. Sebenarnya al-Istihsan merupakan
pengembangan dari al- Qiyas, dan penggunaan al- Ra’yu lebih menonjol lagi.
Menurut bahasa al-Istihsan berarti ” menganggap baik ” atau ” mencari yang baik
”. Sedang menurut istilah Ulama Ushul fiqh adalah meninggalkan ketentuan
qiyas yang samar illatnya, atau meninggalakan hukum yang bersifat umum dan
berpegang pada hukum yang bersifat pengecualian karena ada dalil yang
memperkuatnya.
6.
‘Urf ( adat istiadat) masyarakat
muslim yang berlaku dalam suatu masa tertentu yang tidak terdapat dalan nash
al-Qur’an, sunnah atau belum ada praktek sahabat. Pendirian beliau adalah
mengambil yang sudah diyakini dan dipercaya dan lari dari keburukan serta
memperhatikan mu’amalah-mu’amalah manusia dan apa yang mendatangkan maslahat
bagi mereka. Beliau melakukan segala urusan ( bila tidak ditenukan dalam al-
Qur’an, al- Sunnah al- Ijma’ atau al- Qiyas, dan apabila tidak baik dilakukan
dengan cara al- Qiyas ), beliau melakukan dengan al- Istihsan. Apabila tidak
dapat dilakukan al- Istihsan, beliau kembali pada ‘urf manusia. (Http://www.masterfajar.com/2012/07/biografi-imam-hanafi-abu-hanifah/
IMAM MALIKI
Mālik ibn Anas bin Malik bin 'Āmr
al-Asbahi
atau Malik bin Anas (lengkapnya: Malik bin Anas bin Malik bin `Amr,
al-Imam, Abu `Abd Allah al-Humyari al-Asbahi al-Madani), (Bahasa
Arab: مالك
بن أنس), lahir di (Madinah pada tahun 714 (93 H), dan meninggal pada tahun 800 (179 H)). Ia adalah pakar ilmu fikih dan hadits, serta pendiri Mazhab
Maliki.
Biografi
Abu abdullah Malik bin Anas bin Malik bin Abi
Amirbin Amr bin al-Haris bin Ghaiman bin Jutsail binAmr bin al-Haris Dzi
Ashbah. Imama malik dilahirkan di Madinah al Munawwaroh. sedangkan mengenai masalah tahun kelahiranya terdapat
perbedaaan riwayat. al-Yafii dalam kitabnya Thabaqat fuqoha
meriwayatkan bahwa imam malik dilahirkan pada 94 H. ibn Khalikan dan yang lain
berpendapat bahawa imam malik dilahirkan pada 95 H. sedangkan. imam al-Dzahabi
meriwayatkan imam malik dilahirkan 90 H. Imam yahya bin bakir meriwayatkan
bahwa ia mendengar malik berkata :"aku dilahirkan pada 93 H".
dan inilah riwayat yang paling benar (menurut al-Sam'ani dan ibn farhun)[3].
Ia menyusun kitab Al Muwaththa', dan dalam penyusunannya ia
menghabiskan waktu 40 tahun, selama waktu itu, ia menunjukan kepada 70 ahli
fiqh Madinah. Kitab tersebut menghimpun 100.000 hadits, dan yang meriwayatkan Al Muwaththa’ lebih dari seribu orang, karena
itu naskahnya berbeda beda dan seluruhnya berjumlah 30 naskah, tetapi yang
terkenal hanya 20 buah. Dan yang paling masyur adalah riwayat dari Yahya bin
Yahyah al Laitsi al Andalusi al Mashmudi.
Sejumlah ‘Ulama berpendapat bahwa
sumber sumber hadits itu ada tujuh, yaitu Al Kutub as Sittah ditambah Al
Muwaththa’. Ada pula ulama yang menetapkan Sunan ad Darimi sebagai ganti Al Muwaththa’. Ketika melukiskan kitab besar
ini, Ibn Hazm berkata,” Al Muwaththa’ adalah kitab tentang fiqh dan hadits, aku belum mnegetahui
bandingannya.
Hadits-hadits yang terdapat dalam Al
Muwaththa’ tidak semuanya Musnad, ada yang Mursal, mu’dlal dan munqathi. Sebagian ‘Ulama menghitungnya berjumlah 600
hadits musnad, 222 hadits mursal, 613 hadits mauquf, 285 perkataan tabi’in,
disamping itu ada 61 hadits tanpa penyandara, hanya dikatakan telah sampai
kepadaku” dan “ dari orang kepercayaan”, tetapi hadits hadits tersebut bersanad
dari jalur jalur lain yang bukan jalur dari Imam Malik sendiri, karena itu Ibn Abdil Bar an Namiri menentang penyusunan kitab yang berusaha memuttashilkan hadits hadits
mursal , munqathi’ dan mu’dhal yang terdapat dalam Al Muwaththa’ Malik.
Imam Malik menerima hadits dari 900 orang (guru), 300 dari golongan Tabi’in dan 600 dari tabi’in tabi’in, ia
meriwayatkan hadits bersumber dari Nu’main al Mujmir, Zaib bin Aslam, Nafi’,
Syarik bin Abdullah, az Zuhry, Abi az Ziyad, Sa’id al Maqburi dan Humaid ath
Thawil, muridnya yang paling akhir adalah Hudzafah as Sahmi al Anshari.
Adapun yang meriwayatkan darinya
adalah banyak sekali diantaranya ada yang lebih tua darinya seperti az Zuhry
dan Yahya bin Sa’id. Ada yang sebaya seperti al Auza’i., Ats Tsauri, Sufyan bin
Uyainah, Al Laits bin Sa’ad, Ibnu Juraij dan Syu’bah bin
Hajjaj. Adapula yang belajar darinya seperti Asy Safi’i, Ibnu Wahb, Ibnu Mahdi, al Qaththan dan Abi Ishaq.Malik bin Anas menyusun
kompilasi hadits dan ucapan para sahabat dalam buku yang terkenal hingga kini, Al Muwatta.
Di antara guru beliau adalah Nafi’ bin Abi Nu’aim, Nafi’ al Muqbiri, Na’imul Majmar, Az Zuhri, Amir bin Abdullah bin Az Zubair, Ibnul Munkadir, Abdullah bin Dinar, dan lain-lain. Di antara murid
beliau adalah Ibnul Mubarak, Al Qoththon, Ibnu Mahdi, Ibnu Wahb, Ibnu Qosim, Al Qo’nabi, Abdullah bin Yusuf, Sa’id bin Manshur, Yahya bin Yahya al Andalusi, Yahya bin Bakir, Qutaibah Abu Mush’ab, Al Auza’i, Sufyan Ats Tsaury, Sufyan bin Uyainah, Imam Syafi’i, Abu Hudzafah as Sahmi, Az Aubairi, dan lain-lain.
Pujian Ulama untuk Imam Malik
An Nasa’i berkata,” Tidak ada yang saya
lihat orang yang pintar, mulia dan jujur, tepercaya periwayatan haditsnya
melebihi Malik, kami tidak tahu dia ada meriwayatkan hadits dari rawi matruk,
kecuali Abdul Karim”. (Ket: Abdul Karim bin Abi al Mukharif al Basri yang
menetap di Makkah, karena tidak senegeri dengan Malik, keadaanya tidak banyak
diketahui, Malik hanya sedikit mentahrijkan haditsnya tentang keutamaan amal
atau menambah pada matan).
Sedangkan Ibnu Hayyan berkata,” Malik
adalah orang yang pertama menyeleksi para tokoh ahli fiqh di Madinah, dengan
fiqh, agama dan keutamaan ibadah”.
Ayyub bin Suwaid
berkata :"Imam Malik adalah Imam Darul Hijrah (Imam madinah) dan
as-Sunnah ,seorang yang Tsiqah, seorang yang dapat
dipercaya".
Ahmad bin Hanbal berkata:" Jika engkau melihat seseorang yang membenci imam malik,
maka ketahuilah bahwa orang tersebut adalah ahli bid'ah"
Seseorang bertanya kepada as-Syafi'i :" apakah anda
menemukan seseorang yang (alim) seperti imam malik?" as-Syafi'i
menjawab :"aku mendengar dari orang yang lebih tua dan lebih
berilmu dari pada aku, mereka mengatakan kami tidak menemukan orang yang (alim)
seperti Malik, maka bagaimana kami(orang sekarang) menemui yang seperti Malik?
"
Kitab Al-Muwaththa
Al-Muwaththa bererti ‘yang disepakati’ atau
‘tunjang’ atau ‘panduan’ yang membahas tentang ilmu dan hukum-hukum agama
Islam. Al-Muwaththa merupakan sebuah kitab yang berisikan hadits-hadits yang
dikumpulkan oleh Imam Malik serta pendapat para sahabat dan ulama-ulama tabiin.
Kitab ini lengkap dengan berbagai problem agama yang merangkum ilmu hadits,
ilmu fiqh dan sebagainya. Semua hadits yang ditulis adalah sahih kerana Imam
Malik terkenal dengan sifatnya yang tegas dalam penerimaan sebuah hadits. Dia
sangat berhati-hati ketika menapis, mengasingkan, dan membahas serta menolak
riwayat yang meragukan. Dari 100.000 hadits yang dihafal beliau, hanya 10.000
saja diakui sah dan dari 10.000 hadits itu, hanya 5.000 saja yang disahkan
sahih olehnya setelah diteliti dan dibandingkan dengan al-Quran. Menurut sebuah
riwayat, Imam Malik menghabiskan 40 tahun untuk mengumpul dan menapis
hadits-hadits yang diterima dari guru-gurunya. Imam Syafi pernah berkata,
“Tiada sebuah kitab di muka bumi ini setelah al qur`an yang lebih banyak
mengandungi kebenaran selain dari kitab Al-Muwaththa karangan Imam Malik.”
Wafatnya Sang Imam Darul Hijroh
Imam malik jatuh sakit pada hari
ahad dan menderita sakit selama 22 hari kemudian 10 hari setelah itu ia wafat.
sebagian meriwayatkan imam Malik wafat pada 14 Rabiul awwal 179 H.
Sahnun meriwayatkan dari abdullah
bin nafi':" imam malik wafat pada usia 87 tahun" ibn kinanah bin abi
zubair, putranya yahya dan sekretarisnya hubaib yang memandikan jenazah imam
Malik. imam Malik dimakamkan di Baqi'. (Http://id.wikipedia.org/wiki/Malik_bin_Anas)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar