Latar Belakang Pengembangan Pendekatan Kontekstual
Dewasa
ini pembelajaran kontekstual telah berkembang di negara-negara maju dengan nama
yang beragam. Di negara Belanda dikenal dengan istilah Realistic Mathematic
Education (RME) atau pembelajaran Matematik Realistik (PMR), dengan
beberapa karakteristik, yakni: (1) menggunakan kontekstual, (2) menggunakan
situasi dan pendekatan yang dikembngkan sendiri oleh siswa, (3) menggunakan
kontribusi siswa, (4) proses belajar yang interaktif dan terintegrasi dengan
topik pembelajaran lain.
Di
Amerika terkenal dengan istilah Contextual Teaching and Learning (CTL)
yang intinya adaah membantu guru untuk mengaitkan materi pelajaran dengan
kehidupan dunia nyata dan memotivasi siswa untuk mengaitkan pengetahuan yang
dipelajarinya dengan kehidupan sehari-hari mereka.[1]
Pendekatan
Kontekstual (Contextual Teaching and Learning (CTL)) merupakan konsep
yang membantu guru menkaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi
dunia nyata siswa dan mendorong antara pengetahuan yang dimilikinya dengan
penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat.
Dengan konsep itu, hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi siswa.
proses pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan
mengalami.[2]
CTL
dikembangkarrn oleh The Wasingnton State Concortium for Contextual Teaching
and Learning yang melibatkan 11 perguruan tinggi, 20 sekolah, dan
lembaga-lembaga yang bergerak dalam dunia pendidikan Amerika Serikat. Salah
satu kegiatannya adalah melatih dan memberi kesempatan kepada guru-guru dari
enam provinsi di Indonesia untuk belajar pendekatan kontekstual di Amerika
Serikat melalui Direkotrat SLTP Depdiknas. Alasan mengapa pembelajaran
kontekstual dikembangkan sekarang ini:[3]
1.
Penerapan
konteks budaya dalam pengembangan silabus, penyusunan buku pedoman guru, dan
buku teks akan mendorong sebagian siswa untuk tetap tertarik dan terlibat dalam
kegiatan pendidikan.
2.
Penerapan
konteks sosial dalam pembangunan silabus, penyususnan buku pedoman, dan buku
teks dapat meningkatkan kekuatan masyarakat memungkinkan banyak anggotaa
masyarakat untuk mendiskusikan berbagai isu yang dapat berpengaruh terhadap
pengembangan masyarakat.
3.
Penerapan
konteks personal yang dapat meningkatkan ketermpilan komunikasi, akan membantu
lebih banyak siswa untuk secara penuh terlibat dalam kegiatan pendidikan dan
masyarakat.
4.
Penerapan
konteks ekonomi akan berpengaruh pada peningkatan kesejahteraan sosial politik.
5.
Penerapan
konteks politik dapat meningkatkan pemahaman siswa tentang berbagai isu yang
dapat berpengaruh terhadap masyarakat.
Penerapan Pembelajaran Kontekstual (CTL)
Agar
dapat mengimplementasikan pembelajaran kontekstual guru melaksanakan hal-hal
sebagai berikut:
1)
Merencanakan
pembelajaran sesuai dengan perkembangan mental (developmentally approprite)
peserta didik.
2)
Membentuk
group belajar yang saling tergantung (interdependent learning groups).
3)
Mempertimbangkan
keragaman peserta didik (diversity of students).
4)
Menyediakan
lingkugan yang mendukung pembelajaran mandiri (self-regulated learnig)
dengan 3 karakteristik umumnya (kesadaran berpikir, penggunaan strategi dan
memotivasi berkelanjutan)
5)
Memperhatikan
multi-intelegensi (multiple intelligences) peserta didik.
6)
Menggunakan
teknik bertaya (questioning) yang meningkatkan pembelajaranpeserta
didik, perkembangan pemecahan masalah dan keterampilan berpikir tingkat tinggi.
7)
Mengembangkan
pemikiran bahwa peserta didik akan belajar lebih bermakna bila mereka diberi
kesempatan untuk bekerja, menemukan, dan mengkronstruksi sendiri pengetahuan
dan keterampilan baru (contructivism)
8)
Memfasilitasi
kegiatn penemuan agar peserta didik memperoleh pengetahuan dan keterampilan
melalui penemuannya sendiri (bukan hasil mengingat sejumlah fakta)
9)
Mengembangkan
sifat ingin tahu peserta didik melalui pengajun pertayaan (questioning)
10)
Menciptkan
masyarakat belajar (learning community) dengan membangun kerjasama antar
peserta didik.
11)
Memodelkan
sesuatu agar peserta didik dapat menirunya untuk memperoleh pengetahuan dan
keterampilan baru.
12)
Mengarahkan
peserta didik untuk merefleksikan tentang apa sudah dipelajari.
13)
Menerapkan
penilaian autentik.[1]
Pelaksanaan pembelajaran meliputi tiga hal berikut:[2]
1)
Pre
test, yaitu tes yang dilakukan sebelum proses belajar mengajar dimulai.
Tujuanya adalah untuk mengetahui kemampuan awal yang telah dimiliki peserta
didik mengenai materi yang akan diajarkan.
2)
Proses, yaitu kegiatan-kegiatan inti dari pelaksanaan pembelajaran untuk
mencapai tujuan-tujuan pembelajaran yang telah ditentukan. Proses pembelajaran
perlu dilakukan secara aktif, kreatif,
efektif, dan menyenangkan.
3)
Post
test, yaitu tes yang dilakukan setelah proses pembelajaran selesai.
Fungsi post test adalah untuk mengetahui tingkat penguasaan peserta didk
terhadap kompetensi yang telah ditentukan, baik secara individu maupun
kelompok.
Pada intinya pengembangan setiap komponen CTL dalam pembelajarn
dapat dilakukan sebagai berikut:[3]
1)
Mengembangkan
pemikiran siswa untuk melakukan kegiatan belajar lebih bermakna apakan dengan
cara bekerja sendiri, menemukan sendiri, dan menonstruksi sendiri pengetahuan
dan keterampilan baru yang harus dimilikinya.
2)
Melaksanakan
sejauh mungkin kegiatan inquiri untuk semua topik yang diajarkan.
3)
Mengembangkan
sifat ingin tahu siswa melalui memunculkan pertanyaan-pertanyaan.
4)
Menciptakan
masyarakat belajar, seperti kegiatan kelompok, berdiskusi, tanya jawab dan lain
sebagainya.
5)
Menghadirkan
model sebagai contoh pembelajaran, bisa melalui ilustrasi, model bahkan media
yang sebenarnya.
6)
Membiasakan
anak untuk melakukan refleksi dari setiap kegiatan pembelajaran yang telah
dilakukan.
7)
Melakukan
penilaian secara objektif, yaitu menilai kemampuan yang sebenarnya pada setiap
siswa.
Kelebihan & Kekurangan
Contextual Teaching and Learning
1.
Kelebihan
a.
Pembelajaran menjadi lebih bermakna
dan riil. Artinya siswa dituntut untuk dapat menagkap hubungan antara pengalaman
belajar di sekolah dengan kehidupan nyata. Hal ini sangat penting, sebab dengan
dapat mengorelasikan materi yang ditemukan dengan kehidupan nyata, bukan saja
bagi siswa materi itu akan berfungsi secara fungsional, akan tetapi materi yang
dipelajarinya akan tertanam erat dalam memori siswa, sihingga tidak akan mudah
dilupakan.
b.
Pembelajaran lebih produktif dan
mampu menumbuhkan penguatan konsep kepada siswa karena metode pembelajaran CTL
menganut aliran konstruktivisme, dimana seorang siswa dituntun untuk menemukan
pengetahuannya sendiri. Melalui landasan filosofis konstruktivisme siswa
diharapkan belajar melalui ”mengalami” bukan ”menghafal”.
2.
Kelemahan
a.
Guru lebih intensif dalam
membimbing. Karena dalam metode CTL. Guru tidak lagi berperan sebagai pusat
informasi. Tugas guru adalah mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja
bersama untuk menemukan pengetahuan dan ketrampilan yang baru bagi siswa. Siswa
dipandang sebagai individu yang sedang berkembang. Kemampuan belajar seseorang
akan dipengaruhi oleh tingkat perkembangan dan keluasan pengalaman yang
dimilikinya. Dengan demikian, peran guru bukanlah sebagai instruktur atau ”
penguasa ” yang memaksa kehendak melainkan guru adalah pembimbing siswa agar
mereka dapat belajar sesuai dengan tahap perkembangannya.
b.
Guru memberikan kesempatan kepada
siswa untuk menemukan atau menerapkan sendiri ide–ide dan mengajak siswa agar
dengan menyadari dan dengan sadar menggunakan strategi–strategi mereka sendiri
untuk belajar. Namun dalam konteks ini tentunya guru memerlukan perhatian dan
bimbingan yang ekstra terhadap siswa agar tujuan pembelajaran sesuai dengan apa
yang diterapkan semula.
[1] Junaidi
dkk, Strategi Pembelajaran Pendidikan Guru MI, (Surabaya: LAPIS-PGMI),
2008, hal. 13- 17
[2]
Kunandar, Guru Profesional Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
(KTSP) dan Sukses dalam Sertifikasi Guru, (Jakarta: Rajawali Pers), 2010,
hal.351
[3] Rusman, Op.
Cit. Hal. 199
[1] Elhefni
dkk, Strategi Pembelajaran: Relevansi Contextual Teaching and Learning (CTL)
dan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), (Palembang: CV. Grafika
Telindo), 2011, hal.54
[2] Yatim
Riyanto, Paradigma Pembelajaran Baru, (Jakarta: Kencana), 2012, hal.
[3] Elhefni
dkk, Op. Cit., hal.54
Tidak ada komentar:
Posting Komentar