Senin, 29 Juli 2013

Manusia Sebagai Konselor (Kapita Selekta Pend.)



BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Manusia adalah ciptaan Allah yang paling indah dan tinggi derajatnya. Keindahan manusia berpangkal pada diri manusia itu sendiri baik dari segi fisik maupun dasar-dasar mental dan kemampuannya. Tingkah laku dan karya manusia pun indah sepanjang tingkah laku dan karya-karyanya itu dilandasi oleh keindahan fisik dan dasar-dasar mental serta kemampuan itu. Dengan demikian, predikat paling indah untuk manusia dapat diartikan bahwa tidak sesuatu pun ciptaan Allah yang menyamai kesempurnaan manusia (Samsul Nizar dan  Muhammad Syaifudin, 2010: 163).
Tujuan umum bimbingan dan konseling adalah membantu perkembangan kepribadian seoptimal mungkin. Dalam memberikan bantuan tersebut, konselor harus mempertimbangkan kemampuan dasar dan bakat-bakat individu, latar belakang keluarga, pendidikan, status sosial ekonomi, serta sesuai dengan tuntutan positif lingkungan (Emis Suryana, 2009: 103).
Manusia merupakan keistimewaan ketimbang makhluk lainnya. Manusia diciptakan allah begitu sempurna, yang dengan kesempurna itu manusia dapat meninggatkan kehidupannya. (Jalaluddin dan Abdullah Idi, 2011: 122).
Pada suatu ketika manusia itu dapat menyamai malaikat, karena ketaatanya kepada Allah dan pada suatu ketika lagi bisa saja menyamai binatang tersebut. Dengan demikian, sifat malia atau tercela yang mungkin dimiliki oleh manusia itu, sangat bergantung pada manusia itu sendiri (Ali Hasan, 2000: 1).
Manusia dicipatakan untuk menjadi Khalifah atau pemimpin dimuka bumi, atau bahkan kiranya diseluruh semesta ciptaan allah. Ajaran agama menyebutkan bahwa manusia diciptakan untuk menjadi khalifah atau pemimpin di bumi. Nabi Adam sebagai manusia pertama yang telah diberi bekal untuk mengenal dan menguasai dunianya, dan segerah setelah diturunkan ke bumi ia dan istrinya( Hawa) mewujudkan kemampuanya menguasai dunianya sesuai dengan kodrat kemanusiaannya. Selanjtnya mereka beranak-pinak menurunkan anak keturunan dari generasi ke generasi sampai sekarang (Samsul Nizar dan  Muhammad Syaifudin, 2010: 164).
Dalam perkembangan selanjutnya, manusia (anak, cucu Adam), dihadapkan dengan sebagai persoalan(problem) hidup seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Problem tersebut baik dari sifat, sikap, prilaku maupun keyakinan kepada agamanya.pada saat seseorang mengalami problem dalam kehidupannya, ia pasti membutuhkan orang lain untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang dihadapinya. Hal ini sejalan dengan perintah Allah SWT:
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam mengerjakankebaikan dan taqwa”  
Dan juga sabda Rasulullah SAW:
“Engkau lihatlah orang-orang mukmin itu dalam keadaan saling mengasihi, saling menolong seperti satu tubuh. Jikalau ada salah satu anggota  terkena penyakit, maka seluruh tubuh ikut menderita tidak dapat tidur dan panas dingin”
Dalam kaitannya dengan dunia bimbingan dan konseling. Ungkapan di atas memberikan petunjuk kepada umat manusia agar senantiasa membagi suka dan duka kepada sesama saudaranya, terutama muslim, dalam mengatasi berbagai persoalan yang dihadapinya (Samsul Nizar dan  Muhammad Syaifudin, 2010: 165).
Nabi Muhammad SAW diutus kepada seluruh manusia untuk membimbing mereka kepada setiap kebaikan dan memperingatkan mereka kepada setiap kebaikan dan memperingatkan mereka dari setiap kejelekan. Segala bentuk hubungan yang terjalin di antara sesama muslim dipandang sebagai suatu yang sangat berharga di sisi Allah SWT (Falih bin Muhammad ash-Shughair, 2006: 252).
Bimbingan dan konseling adalah pelayanan bantuan untuk peserta didik, baik secara perorangan maupun kelompok agar mandiri dan bisa berkembang secara optimal, dalam bimbingan pribadi, sosial, belajar maupun karir melalui berbagai jenis layanan dan kegiatan pendukung berdasarkan norma-norma yang berlaku (SK Mendikbud No. 025/D/1995) (Fenti Hikmawati, 2011: 53).
Bimbingan adalah bantuan yang diberikan oleh pembimbing kepada induvidu agar induvidu yang mencapai kemandirian dengan mempergunakan berbagai bahan, malalui interaksi, dan pemberian nasehat serta gagasan dalan suasana asuhan dan berdasarkan norma-norma yang berlaku. Konseling adalah kontak atau hubungan timbal balik antara dua orang (konselor dan klien) untuk menangani masalah klien, yang didukung oleh keahlian dan dalam suasana yang laras dan integrasi, berdasarkan norma-norma yang berlaku untuk tujuan yang berguna bagi klien (Tohirin, 2007: 20).
Khusus dikalangan guru-guru/calon-calon guru agama di sekolah diharapkan setiap guru/calon guru memiliki pengetahuan dan keterampilan dasar bertugas sebagai konselor (pembimbing atau penyuluh). Guru agama diharapkan dapat bertugas sekaligus sebagai pendidik dan konselor tersebut. Mengingat pendidikan agama adalah proses mempengaruhi dan membantu perkembangan anak didik menjadi manusia dewasa beriman dan bertakwa yang sekaligus berilmu pengetahuan, berdaya kreasi dan berprestasi tinggi dalam hidupnya sebagai warga negara yang baik (Muzayyin Arifin, 2009: 171).



BAB II
PEMBAHASAN

Manusia sebagai Konselor dan Sasaran konseling dalam Pendidikan
A.     Pola-Pola Kepribadian dan Dimensi Kemanusiaan
Pengklasifikasi manusia ke dalam pola-pola kepribadian yang menghimpun pribadi-pribadi yang memiliki kesamaan ciri sesungguhnya merupakan upaya yang membantu menjelaskan dan menafsirkan prilaku-prilaku mereka. Dalam Al-Qur-an, manusia diklasifikasikan berdasarkan keyakinannya ke dalam tiga  pola, yaitu: mukmin, kafir, dan munafik.
1.    Mukmin
Gambaran manusia mukmin yang diterangkan dalam al-Qur’an merupakan gambaran manusia paripurna dalam kehidupan ini. Mereka merupakan model bagi masyarakat yang telah dibentuk oleh rasulullah SAW pada generasi pertama. Melalui generasi pertama inilah, Rasulullah mampu mengubah wajah sejarah umat manusia dari bentuk jahiliyah ( kegelapan akidah ) menjadi penuh dengan cahaya keimanan. Gambaran manusia paripurna tersebut  terlihat  dari karakteristiknya antara lain manusia beriman kepada rabb-Nya secara benar, berpegang teguh pada nilai-nilai kemanusian yang luhur dan akhlak mulia dalam kahidupan pribadi, keluarga, masyarakat, dan dalam menghindari perbuatan terlarang serta dalam beramal selalu bersikap ikhlas, amanah dan sempurna.
2.    Kafir
Gambar al-quran perihal kepribadian orang kafir adalah mereka yang tidak beriman kepada keyakinan tauhid, tidak beriman kepada rasul dan kitab-kitab yang diturunkanya, tidak beriman pada hari akhir, kebangkitan, dan hisab, serta tidak beriman pada surga dan neraka. Mereka bersifat taklid atas trradisi yang bisa dilakukan leluhurnya, berupa penyebab berhala-berhalayang tidak memberi manfaat dan mudharat serta tidak dapat mendengar, berbicara, dan berfikir. Mereka adalah pribadi-pribadi yang mengalami kejumudan (stagnasi) berfikir dan tidak mampu menyelami hakikat tauhid. Di samping itu, mereka juga bersikap sombong terhadap kaum mukmin atas karunia dan kenikmatan yang dianugrakan kepadanya. Mereka adalah pribadi-pribadi yang matarialistik dan opurtunistik yang sangat mementingkan kenikmatan dan kesenangan dunia semata, sehingga mereka mengurutangi kehidupan  yang sarat dengan kedurhakaan, kefasikan, serta tenggelam dalam pemuasan hawa nafsu dan syawat.
3.    Munafik
Munafik adalah golongan manusia yang memiliki kepribadian sangat lemah dan bimbang. Mereka tidak dapat membuat suatu sikap yang jelas berkenaan dengan keimanan. Ciri kepribadian orang munafik yang paling dasar adalah oportunis dan pengecut. Jika kaum muslimin memperoleh keberuntungan, mereka mengatakan bahwa ia bersama mereka agar memperoleh keberuntungan itu. Sebaliknya, jika orang-orang musrik yang mendapatkan keberuntungan, pun mengatakan bahwa ia bersama merekan agar memperoleh keberuntungan itu. Sikap pengecut mereka terlihat dari ketakutan mereka untuk berjuang dengan berbagai macam alasan. Disamping itu, mereka selalu memperdaya orang lain dan mempengaruhi orang lain dengan kata-kata manis dan penampilan yang menawan (Samsul Nizar dan  Muhammad Syaifudin, 2010: 168).
Dari ketiga pola kepribadian yang di atas dapat di pahami, bahwa sesungguhnya manusia adalah sosok makluk multidemensi, dimana di dalam dirinya berkembang potensi untuk menjadi manusia mulia dan manusia hina. Oleh karena itu, Allah SWT memberi berpeluang kepada manusia, dengan potensi akarnya, untuk menentukan pilihan apakah menjadi manusia mukmin, kafir atau munafik.
Selanjutnya, jika diperhatikan secara mendalam, keberadaan dan kehidupan manusia, baik seseorang maupun kelompok, tanpak gejala-gejala mendasar sebagai berikut:
1.    Antara orang yang satu dengan orang-orang lainya terdapat berbagai perbedaan yang kadang-kadang bahkan sangat besar.
2.    Semua orang memertlukan orang lain.
3.    Kehidupan manusia tidak bersifat acak atau pun semabarangan, tetapi mengikuti aturan-aturan tertentu.
4.    Dari segi sudut agama, kehidupan tidak semata-mata kehidupan didunia fana, melainkan juga mengjangkau kehidupan akhirat.
Gejala-gejala mendasar dari uraian di atas menggambarkan krakteristik, manusia yang bersifat spesifik yang membedakan dengan makhluk lainya. Keempat gejala mendasar yang di uraikan tersebut yang merupakan dimensi kehidupan. Dimensi disana dimaksudkan sebagai sesuatu yang secara hakiki ada pada manusia di suatu segi dan di segi lain sebagai sesuatu yang dapat di kembangkan (Samsul Nizar dan  Muhammad Syaifudin, 2010: 170).

B.    Manusia Sebagai Khalifah
Pembicaraan manusia sebagai khalifah mengacuh kepada gambaran tugas yang seharusnya diperankan yang harus di embannya. Kaitannya dengan peran manusia sebagai makhluk yang berpotensi untuk menimbulkan masalah dan kemampuan menyelesaikan masalah. Dalam kegiaatan konseling, sosok manusia di pandang sebagai konselor dan sasaran konseling (klien).
Di dalam Al-Qur’an,  manusia disebut dengan berbagai nama. Sehubungan dengan hal itu, berikut ini akan di jelaskan setiap istilah (term) yang dimaksud antara lain:
1.    Konsep al-Basyr
Kata al-basyr terambil dari akar kata yang pada mulanya berarti penampakkan sesuatu dengan baik dan indah. Dari akar kata yang sama, lahir kata basyarah yang berarti kulit. Manusia di katakan basyarah kerena kulitnya tampak jelas, dan berbeda kulit binatang lainnya. Selanjutnya, manusia dalam konsep al-basyr di pandang dari pendekatan biologis. Sebagai makhluk biologis, berarti manusia terdiri dari unsur materi, sehingga menampilkan sosok dalam bentuk fisik material, berupa tubuh kasar (ragawi) (Samsul Nizar dan  Muhammad Syaifudin, 2010: 172).
Penunjukan kata al-basyr di tunjukkan Allah kepada seluruh manusia tanpa terkecuali. Demikian pula halnya dengan rasul-Nya. Hanya saja kepada mereka di berikan wahyu, sedangkan kepada manusia umumnya tidak diberikan wahyu (Bukhari Umar, 2010: 2).
Dari konsep di atas dapat di pahami bahwa manusia, secara biologis tidak jauh beda dengan makhluk biologis lainnya. Manusia memiliki dorongan biologis seperti dorongan makanan dan minuman untuk hidup, dan juga memerlukan pasangan hidup untuk melakukan proses kehidupannya. Disamping itu, manusia mengalami proses akhirnya secara fisik, yaitu mati seperti makhluk biologis lainnya (Samsul Nizar dan  Muhammad Syaifudin, 2010: 172).
2.    Konsep al-Insan
Manusia disebut dengan insan yaitu makhluk terbaik yang di beri akal, sehingga mampu menyerap ilmu pengetahuan, dengan kata lain manusia di sebut insan untuk menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk yang memiliki kecerdasan yang dapat terus berkembang. Atas dasar potensi kecerdasan inilah, manusia dapat menduduki posisi sebagai khalaifah di bumi yang memikul tanggung jawab taklif dan amanah (Fitri Ovianti, 2007: 317)
Kata Al-Insan terambil dari akar kata UNS yang berekti jinak, harmonis, dan tampak. Pendapat ini, jika ditinjau dari sedut pandangan Al-Qur’an lebih tepat dari yang berpendapat bahwa ia terambil dari kata nasiya yang berarti lupa atau nasa-yanusu yang berakti berguncang. Di dalam Al-Qur’an, mengunakan kata al-insan mengacu kepada potensi yang di anugerahkan Allah kepada manusia seperti potensi untuk tumbuh dan berkembang secara fisik dan juga mental spiritual. Potensi tersebut meliputi potensi untuk mengembangkan diri secara positif yang meberi peluang bagi manusia untuk mengembangkan kualitas sumber daya insaninya, sehingga diharapkan dapat menjadi makhluk ciptaan Allah yang mengabdi kepada Penciptanya. Selain itu, manusia juga memiliki potensi negatif yang berpeluang untuk mendorong manusia ke arah tindakan, sikap dan prilaku yang menjerumuskan dirinyta kepada jurang kehinaan dan penderitaan hidup.
Terdapat potensi yang negatif tersebut, manusia, sebagai makhluk alternatif, diharapkan mampu mengatasinya sehinggah dapat mengantarkan dirinya kepada possisi yang terhormat dan mulia (Samsul Nizar dan  Muhammad Syaifudin, 2010: 173).
3.    Konsep al- Nas
Di dalam Al-Qur’an, kata al-Nas terulang sebanyak 24 kali dan pada umumnya dihubungkan dengan fungsi manusia sebagai makhluk sosial. Manusia diciptakan sebagai makhluk bermasyarakat, yang berawal dari pasangan laki-laki dan perempuan, kemudian menjadi suku dan bangsa, untuk saling mengenal. Manusia merupakan makhluk sosial yang secara fitrah senang hidup berkelompok, sejak dari bentuk satua yang terkecil (keluarga) hingga ke paling besar dan kompleks, yaitu bangsa dan umat manusia.
Sejalan dengan konteks tersebut, manusia diharapkan mampu menciptakan keharmonisan hidup baik pada ruang lingkup yang paling sederhana yaitu keluarga mampu pada ruang lingkup yang lebih luas yaitu masyarakat. Kemampuan untuk memerankan diri sebagai makhluk sosial, dikaitkan dengan konsep beriman  dan beramal sholeh (Samsul Nizar dan  Muhammad Syaifudin, 2010: 174).
4.    Konsep Bani Adam
Manusia  sebagai Bani Adam, termaktub di 7 tempat dalam Al-Qur’an. Manusia sebagai Bani Adam dikaitkan dengan gambaran peran Adam AS, saat awal diciptakan. Di kala Adam AS akan diciptakan para malaikat seakan mengkhawatirkan kehadiran makhluk ini. Mereka memperkirakan dengan penciptanya, manusia akan menjadi biang keladi kerusakan dan pertumpahan darah. Kemudian terbukti bahwa Adam AS dan isterinya Hawa, karena kekeliruan kahirnya terjebak oleh hasutan setan sehingga keduanya dikeluarkan dari surga sebagai hukuman atas kelalaian yang mereka perbuat.
Dapat di pahami bahwa manusia selaku Bani Adam di pandang sebagai  makhluk yang bermasalah karena berpeluang untuk tergoda oleh setan. Oleh karena itu manusia diharapkan mampu menjaga kemuliaan dirinya dan kehormati nilai-nilai kemanusiaan (Samsul Nizar dan  Muhammad Syaifudin, 2010: 174)
5.    Konsep al-Ins
Kata al-Ins merupakan homonim dari kata al-Jins dan al-Nufur. Menurut M. Quraish Shihab, kata al-Insan terambil dari akar kata uns yang berakti jinak, harmonis, dan tampak. Sementara menurut Bintu Syahti’, kata al-Ins selalu disebut bersamaan dengan kata jin sebagai lawan katanya. Pesan makna yang dapat di tangkap mengenai sisi kemanusiaan dari kata al-ins adalah bahwa manusia merupakan makhluk yang bersifat kongkrit (nyata) yang terkait oleh taklif (tugas keagamaan) yang merupakan  amanat dari Allah yang harus dipikulnya. Hal ini dikarenakan manusia dibekali dengan keistimewaan ilmu, pandai bicara, mempunyai akal yang mampu berfikir (Samsul Nizar dan  Muhammad Syaifudin, 2010: 175).
6.    Konsep Abd Allah
Al-Qur-an juga menamakan manusia dengan Abd Allah yang berakti abdi atau hambah Allah. Al-Qur-an juga menamakan manusia dengan Abd Allah yang berakti abdi atau hambah Allah. Menurut M. Quraish Shihab, seluruh makluk yang memiliki  potensi berperan  dan berkehendak adalah Abd Allah dalam arti dimiliki Allah. Kepemilikan Allah terhadap makhluk tersebut merupakan kepemilikan mutlak dan sempurna. Dengan demikian, Abd Allah tidak dapat berdiri sendiri dalam kehidupan dan seluruh aktivitasnya dalam kehidupan itu (Samsul Nizar dan  Muhammad Syaifudin, 2010: 176)
Menyangkut unsur immaterial, ditemukan antara lain  dalam uraian tentang sifat-sifat manusia, dan dari uraian tentang fitrah, nafs, qlb, dan ruh yang menghiasi makhluk manusia. Berikut ini akan dijelaskan secara sepintas unsur-unsur tersebut:
a.    Konsep Fitrah
Kata Fitrah di ambil dari akar kata al-fathr yang berakti belahan, dan dari makna ini lahir makna-makna lain yaitu penciptaan dan kejadian. Banyak kalangan memahami bahwa fitrah manusia adalah kejadiannya sejak semula atau  bawaan sejak lahirnya. Fitrah identik dengan potensi aqliyyahnya seperti senang bila menerima nikmat dan sedih bila ditimpa musibah.
b.    Konsep Nafs
Kata Nafs dalam Al-Qur’an mempunyai aneka makna, sekali di artikan sebagai totalitas manusia. Secara umum dapat dikatakan bahwa nafs dalam konteks pembicaraan tentang manusia, merujuk kepada sisi dalam diri manusia yang berpotensi baik dan buruk. Naumana Abjad mengidentikkan Nafs dengan jiwa atau psike yang merupakan daerah perbatasan yang menghubungkan aspek fisik manusia dengan diri spiritualnya, dan ia bersifat lembut tetapi berisi bentuk-bentuk (imajinasi, sensasi, ide, dll)
c.    Konsep Qalb
Kata Qalb terambil dari akar kata yang bermakna bolak balik. Hal ini disebabkan ia memiliki sifat dasar (potensi) untuk tidak konsisten, misalnya sekali senang, sekali susah, sekali setuju sekali tidak setuju. Qalb menampung hal-hal yang disadari oleh pemiliknya, sedangkan nafs menampung apa yang berada dibawah sadar atau sesuatu yang tidak di ingat lagi. Dapat di pahami bahwa qalb adalah salah satu organ dalam tubuh manusia yang akan menyatuh dengan akal.
d.    Konsep Ruh
Kata Ruh terulang sebanyak 24 kali dalam Al-Qur’an dengan berbagai konteks dan berbagai makna, dan tidak semua berkaiatan dengan manusia. Ada uraian tentang ruh yang membawa Al-Quran pada malam lailat al-Qadr, ada juga yang berarti sesuatu yang dianugerahkannya kepada orang mukmin, bahkan ada yang memahami bahwa ruh itu adalah nyawa (sekalipun ada yang tidak sependapat, karna ruh hanya dimiliki oleh manusia sedangkan nyawa juga dimiliki oleh binatang).
7.    Konsep Khalifah
Kata khulafa adalah bentuk jamak dari kata Khalifah yang berarti “pengganti”. Secara istilah, berarti “pemimpin” (Tim Bina Karya Guru,  2009: 2). Sejak dari awal penciptaan, manusia pertama (Adam) dipilih sebagai Khalifah di muka bumi. Kata Khalifah berarti di belakang, dan karna itu sering diartikan pengganti (karena yang menggantikan selalu berada di belakang, atau datang sesudah yang digantikan).
Tugas kekhalifahan ternyata mempunyai bentuk yang lebih kompleks yaitu menjalin hubungan dengan sesama manusia dan sesama makhluk yang meliputi hewan, tumbuh-tumbuhan, dan benda alam lainya, sedangkan tanggung jawab manusia sebagai khalifah berupa pelaksanaan amanat untuk membangun dan mengelolah didunia ini sesuai dengan kehendak sang pencipta. Selanjutnya, didalam amanat kekhalifahan manusia sekurang-kurangnya terangkum dua, yaitu : 1) kesanggupan manusia untuk mengembangkan sifat-sifat Tuhan pada dirinya, dan 2) kesanggupan manusia untuk mengurus sumber-sumber yang ada di bumi.
Dari uraian di atas, dapat di pahami bahwa dalam rangka menjalankan tugas dan fungsinya sebagai Khalifah, manusia senantiasa di bimbing oleh allah, bimbingan itu dapat dilakukan secara langsung seperti bimbingan Allah terhadap para Nabi dan manusia lainya sesuai dengan tintah-Nya. Dengan bimbingan yang diberikan oleh Allah, di harapkan manusia tidak akan tersesat dan tidak mengikuti jalan setan dalam memecahkan segala persoalan (problem) hidup yang di hadapinya (Samsul Nizar dan  Muhammad Syaifudin, 2010: 185)

C.    Manusia Sebagai Konselor dan Sasaran Konseling
Dipandang dari sudut agama, kegiatan bimbingan dan konseling dirsakan perlu karena manusia siapapun dia pasti mempunyai masalah, hanya saja tergantung pada siri orng itu sendiri bagaimana menerimanya. Pengertian bimbingan dan konseling agama menurut HM. Arifin adalah usaha pemberian bantuan kepada seseorang yang mengalami kesulitan baik lahiriah maupun bathiiah yang menyangkut kehidupannya dimasa kini dan di masa mendatang (Emis Suryana, 2010: 11).
Manusia, sebagai khalifah, dituntut untuk mampu mengembangkan dimensi-dimensi-dimensi kemanusiaan yang ada pada  dirinya yaitu kepribadian yang matang, kemampuan sosial yang menyejukkan, kesesilaan yang tinggi, dan keimanan serta ketakwaan yang mendalam. Tetapi, kenyataanyan  yang sering di jumpai adalah keadaan pribadi yang kurang berkembang dan rapuh, kesosialan yang panas dan sangar, kesusilaan yang rendah, keimanan serta ketakwaan yang dangkal.
Berbagai persoalan (problema) tersebut tumbuh dan berkembang seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Problema tersebut baik dari sifat, siakap, prilaku maupun keyakinan kepada agamanya. Pergeseran nilai seperti di atas mengakibatkan hilangnya identitas kepribadian muslim yang sempurna. Pada saat seseorang mengalami problema dalam kehidupannya, ia pasti membutuhkan orang lain untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang dihadapi (Samsul Nizar dan  Muhammad Syaifudin, 2010: 185).
Dalam kaitanya dengan dunia konseling, ungkapan di atas memberikan petunjuk kepada umat manusia agar senentiasa membagi suka dan duka kepada sesama saudaranya, terutama sesama muslim, dalam mengatasi berbagai persoalan yang dihadapinya. Hal ini menunjukkan bahwa manusia, sebagai individu dan makhluk sosial, memiliki peran ganda yaitu pada suatu saat berperan sebagai seseorang yang akan memberikan bantuankepada orang lain(konselor) dan pada saat lain berperan sebagai orang yang memerlukan bantuan orang lain(klien) dalam mengatasi berbagai persoalan hidup yang di hadapi (Samsul Nizar dan  Muhammad Syaifudin, 2010: 186).
Dalam Proses Bimbingan dan Konseling akan menempuh beberapa langkah, yaitu: (1) menentukan masalah, (2) mengumpulkan masalah, (3) analisis data, (4) diagnosis, (5) prognosis, (6) konseling atau treatment, dan (7) evaluasi atau follow up (Dewa Ketut Sukardi, 2000: 153).
Kualitas-kualitas dan nilai-nilai pribadi apakah yang memeudahkan proses konseling? Dalam suatu studi di Florida (USA), konseli-konseli diwawancarai mengenai nilai-nilai dan kualitas-kualitas pribadi yang membuat konselor mereka efektif atau tidak efektif. Konseli-konseli tersebut menjawab sebagai berikut:
1.    Konselor-konselor yang efektif memandang manusia sebagai pribadi, dan memiliki kapasitas untuk menangai masalah-masalahnya;
2.    Konselor-konselor yang efektif memandang manusia sebagai orang yang ramah yang bersedia menerima orang lain, dan bertujuan baik;
3.    Konselor-konselor yang efektif menganggap manusia mempunyai mempunyai pembawaan yang bernilai dan perlu dihargai.
4.    Konselor-konselor yang efektif memandang manusia sebagai pribadi yang berkembang dari dalam, sebagai pribadi yang kreatif dan dinamis.
5.    Konselor-konselor yang efektif memandang manusia sebagai pribadi yang dapat dipercaya, dapat digantungi, dapat bertanggung jawab dan tingkah lakunya dapat dipahami.
6.    Konselor-konselor yang efektif memandang manusia sebagai pribadi yang secara potensial dapat mencapai kebahagiaan, mampu mengembangkan diri, serta dapat pula menjadi sumber bagi orang lain untuk memperoleh kebahagiaan.
Seorang konselor, seperti yang dikemukakan oleh Wrenn, harus “tidak hanya memberi makan kepada ‘kepalanya’ tetapi juga perasaan/hati dan jiwanya”.
Seorang konselor mempunyai sifat dan sikap yang berpengaruh positif proses konseling, diantaranya yaitu:
1.    Wajar
Di dalam proses konseling kewjaran dari konselior mutlak diperlukan, artinya sikap dan tingkah laku konselor harus wajar dan tidak dibuat-buat.
2.    Ramah
Keramahan dalam arti yang wajar sangat diperlukan bagi seorang konselor di dalam proses konseling. Keramahan konselor dapat membuat konseli merasa enak dan aman berhadapan dengan konselor.
3.    Hangat
Kehangatan juga mempunyai pengaruh yang penting di dalam suksesnya proses konseling. Oleh karena itu sikap hangat juga diperlukan oleh seorang konselor.
4.    Bersungguh-sungguh
Konselor harus sungguh-sungguh mau melibatkan diri dari berusaha menolong kliennya dalam memecahkan masalah yang dihadapinya.
5.    Kreatif
Sikap kreatif konselor sangat berguna bagi suksesnya proses konseling. Hal ini disebabkan karena objek dari dunia bimbingan adalah individu yang unik.
6.    Fleksibel
Sikap fleksibel atau luwes dari konselor sangat menolong tercapainya tujuan konselin (Kartini Kartono, 1985: 45).

Untuk dapat mengemban tugas-tugas sebagaimana disebutkan di atas dengan optimal, konselor harus memenuhi beberapa persyaratan tertentu, antara lain:
1.    Syarat pendidikan formal, seorang guru pembimbing/konselor harus benar-benar seorang sarjana bimbingan dan harus memiliki ijazah dari sekolahnya serta menguasai berbagai bidang ilmu.
2.    Di dalam segi psikologi, seorang konselor harus mempunyai kemantapan di dalam psikologinya terutama dalam segi emosinya.
3.    Harus mempunyai kecintaan terhadap pekerjaannya dan juga terhadap anak atau individu yang dihadapinya.
4.    Harus memiliki inisiatif yang cukup baik (Emis Suryana, 2009: 213).

Peran sebagai konselor dan klien (sasaran konseling) dapat dipahami dari uraian berikut ini:
1.    Allah berperan sebagai konselor dan para Nabi / Rasul sebagai kliennya
2.    Rasul berperan sebgai konselor dan Umatnya sebagai klien
3.    Orang tua berperan sebagai konselor dan anak-anaknya sebagai kliennya
4.    Guru berperan sebagai konselor dan murid sebagai kliennya.

Prof. Sofyan S. Will memaparkan secara panjang lebar kualifikasi seorang konselor. Menurnya, kualitas konselor adalah semua kriterial keunggulan, termasuk pribadi, pengetahuan, wawasan, keterampilan, dan nilai-nilai yang dimilikinya yang akan memudahkannya dalam menjalankan proses konseling sehinggah mencapai tujuan dengan berhasil(efaktif). Salah satu kualitas yang jarang di bicarakan adalah kualitas pribadi konselor. Kualitas pribadi konselor adalah  kriterial yang menyangkut segala aspek kepribadian yang amat penting dan menentukan keefektifan konselor jika bi bandingkan dengan latihan yang di peroleh (Anas Salahuddin, 2010: 193).
Dikaitkan dengan era globalisasi dan informasi, perubahan-perubahan yang dibawa oleh semangat globalisasi dan arus informasi akan lebih deras lagi menggoncang masyarakat dan sekolah, kampus dan tatanan kehidupan dalam segenap seginya. Akibat yang akan di timbulkan adalah semakin banyaknya individu, anak-anak dan remaja peserta didik disekolah, para pemuda dan warga masyarakat lainya yang terhimpit oleh tantangan ketidakpastian, terlempar dan terhempas dan keinginan yang tidak dapat dipenuhi.
Berkaitan dengan hal tersebut, sekolah diharapkan dapat menjalankan fungsinya secara penuh yaitu menyelenggarakan pendidikan dalam arti yang seluas-luasnya. Penyelenggaraan pengajaran saja, apabila kalau pengajar diartikan secara sempit, dikhawatirkan di suatu segi menjurus kepada pengembangan kemampuan kognitif yang tidak seimbang, dari segi lain tidak banyak menyentuh pengembangan keempat dimensi kemanusiaan secara serasi, selaras, dan seimabang. Sekolah dengan sekuat tenaga perlu menciptakan suasana pengajaran dan suasana kelas  yang menyejukkan, bersemangat, luwes dan subur. Isi pengajaran dalam arti yang luas itu secara langsung mengait materi-materi yang relevan dengan keempat dimensi dan pengembangan manusia seutuhnya itu.


BAB III
PENUTUP

Rekomendasi
Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa manusia sebagai khalifah Allah memiliki potensi untuk menjadi seseorang konselor (pemberi bimbingan) dan klien (penerima bimbingan). Hal ini di karenakan manusia zaman nabi Adam sampai sekarang dan pada masa yang akan datang, manusia di pandang sebagai makhluk yang sentiasa penuh dengan masalah. Mereka sentiasa dihadapkan dengan berbagai permasalahan (problem) kehidupan yang mau tidak mau atau siap tidak siap harus di selesaikan/di cari solusinya.  Penjelasan problem tersebut dimaksud agar manusia dapat meraih kebagiaan-kesenangan hidup. Kalau tidak, biasa akan menjerumuskan manusia kepada kesengsaraan-kenistaaan, bahkan kesesatan.
Pernyataan di atas menggambarkan bahwa betapapun kesempurnaan yang dimiliki manusia sebagai Khalifah Allah dengan segudang potensi yang dimilikinya, namun mereka tidak dapat melepas diri dari bimbingan dan konseling baik secara langsung yang berasal dari Allah maupun secara tidak langsung dari sesama manusia.


DAFTAR PUSTAKA

Arifin, Muzayyin. 2009. Kapita Selekta Pendidikan Islam. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Ash-Shughair, Falih bin Muhammad. 2006. Menjadikan Puasa Lebih Bermakna. Jakarta: Senayan Abadi Publishing.
As-salus, Ali. 1997. Imamah dan Khalifah. Jakata: Gema Insani Press.
Hasan, Ali. 2000. Studi Islam. Jakarta: Srigunting.
Hikmawati, Fenti. 2011. Bimbingan Konseling: Edisi Revisi. Jakarta: Rajawali Pers.
Jalaludddin dan Idi Abdullah. 2011. Filsafat Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Kartono, Kartini. 1985. Bimbingan dan Dasar-dasar Pelaksanaannya. Jakarta: CV Rajawali.
Nizar, Samsul dan Muhammad Syaifuddin. 2010. Isu-isu Kontemporer Tentang Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia.
Ovianti, Fitri. 2007. Metodelogi Studi Islam. Palembang: IAIN Raden Fatah Press.
Salahudin, Anas. 2010. Bimbingan dan Konseling. Bandung: Pustaka Setia.
Sukardi, Dewa Ketut. 2000. Pengantar Pelaksanaan Program Bimbingan dan Konseling di Sekolah. Jakarta: Rineka Cipta.
Suryana, Ermis. 2009. Bimbingan dan Konseling di Sekolah. Palembang: CV. Grafika Telindo.
------------------. 2010. Bimbingan dan Konseling di Sekolah. Palembang: CV. Grafika Telindo.
Suwardi. 2007. Manajemen Pembelajaran. Jawa Tengah: STAIN Salatiga Press.
Tim Bina Karya Guru. 2009. Bina Sejarah Kebudayaan Islam. Jakarta: Erlangga.
Tohirin. 2007. Bimbingan dan Konseling di Sekolah dan Madrasah. Jakarta: Rajawali Pers.
Umar, Bukhari. 2010. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Amzah.